Kamis, 31 Mei 2012

“Pada Pembotakan Terakhir” : Dalam Perspektif Masyarakat Minangkabau

“Pada Pembotakan Terakhir” :  Dalam Perspektif Masyarakat Minangkabau
Oleh: Aprilia Susanti

 “Pada Pembotakan Terakhir” merupakan salah satu cerpen karya A.A. Navis. Pengarang yang lahir pada tanggal 17 November 1924 di Padang panjang, Sumatera Barat,  dikenal sebagai sang Pencemooh adalah sosok yang ceplas-ceplos, mengalir apa adanya untuk membangun kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya  dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih, ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkap para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor. Pengarang adalah sosok orang yang peduli dengan kondisi social masyarakat yang ada di sekitarnya. Sikap kepeduliannya itulah yang menginspirasi penyair untuk menulisnya ke dalam bentuk cerpen maupuan novel.    Dia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiranpemikiran di pentas nasional dan internasional. Dia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Navis memulai menulis sejak tahun 1950. Hasil karyanya mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar tahun 1955 dan telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri. Dia juga melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. “Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” katanya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, dia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. “Yang benar, penuh perhitungan,” katanya, dia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. “Yang benar galia atau galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya diluar selorohnya.
Kini, dia telah pergi. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Penulis Robohnya Surau Kami dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang
Alur dan Pengaluran
Cerpen “Pada pembotakan Terakhir” pengarang menyajikan cerita kedalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri atas dua sekuen, yaitu menceritakan tentang suasana batin tokoh aku yang sedang mengingat kejadian dua puluh lima tahun yang lalu dan sekuen dua mengisahkan tentang tokoh aku yang memulai ceritanya.. Bagian kedua mendeskripsikan tentang tradisi pembotakan rambut tokoh aku dari bayi hingga usia tujuh tahun(sekuen 3 sampai 8). Bagian ketiga mengisahkan tentang kisah haru birunya pertemanan antara tokoh aku dan Maria serta lika-liku kehidupan Maria (sekuen 8 sampai 33). Bagian ketiga mengisahkan tentang kejadian yang sedang dialami pada saat ini (sekuen 34-36). Dimana diceritakan bahwa kejadian tersebut sudah berlangsung dua puluh lima tahun yang lalu dan ibu dari tokoh aku kini telah tiada sedangkan mak Pasah masih hidup dan beralih berdagang emas, sehingga ia sekarang kaya dan bersuami muda.

    Fungsi Utama cerpen “Pada Pembotakan terakhir” adalah sebagai berikut.
1.    Tokoh aku mengingat kejadian yang pernah dialaminya dulu.
2.    Tokoh aku mengalami pembotakan dari bayi hingga usia tujuh tahun pada setiap tahunnya.
3.    Pada pembotakan yang terakhir tidak ada perayaan dan upacara, yang hadir pun cuma kakek Montok, tokoh aku, dan Maria.
4.    Pada pembotakan terakhir itulah awal kisah pertemanan tokoh aku dan Maria
5.    Terjadilah penyiksaan pada diri Maria, karena Maria sering menghabiskan waktunya untuk bermain dengan tokoh aku.
6.    Tokoh aku bermimpi buruk tentang Maria dan apa yang diimpikannya benar-benar menjadi kenyataan.
7.    Meninggalnya Maria akibat penyiksaan dari mak Pasah, enteknya dan tokoh menderita sakit akibat selalu memikirkan Maria.
8.    Cerita tokoh aku tentang masa lalunya telah usai.
9.    Ibu dari tokoh aku kini telah tiada, sedangkan mak Pasah masih hidup dan beralih berdagang emas, sehingga hidupnya kaya-raya dan bersuami muda.

Pada cerpen ini telah dideskripsikan tentang tokoh aku yang sedang mengingat kejadian masa silam, yaitu kejadian dua puluh lima tahun yang lalu. Dimana dia selalu mendapatkan hadiah pembotakan kepala mulai dari bayi hingga usia tujuh tahun. Pada acara pembotakan rambut selalu dirayakan secara besar-besaran. Tetapi pada pembotakan yang terakhir, tepatnya pembotakan yang ke tujuh, tidak ada pesta yang di gelar, karena nenek tokoh aku sang promoter segala upacara telah meninggal empat belas hari sebelum acara pembotakan yang terakhir. Sehingga yang datang pada acara pembotakan terakhir tersebut kakek Montok sang pencukur, Maria, dan tokoh aku. Disinilah awal pertemanan antara tokoh aku dan Maria dimulai, tetapi mereka jarang sekali bercakap-cakap meskipun Maria hampir setiap hari menjajakan kuenya di rumah tokoh aku. Tetapi pada suatu waktu mereka juga menghabiska waktu berdua untuk bermain, tetapi sepulangnya Maria bermain dengan tokoh aku, Maria dianiaya oleh mak Pasah, enteknya. Sehingga ibu tokoh aku melarangnya bermain dengan Maria. Dan pada acar pembotakannya yang terakhir Maria datang dengan kondisi yang sama seperti dalam mimpi tokoh aku. Setelah acara pembotakan selesai, tokoh aku diajak ayahnya berkunjung di tempat saudaranya, di rumahnya pak cik. Sepulangnya dari rumah kerabatnya tersebut, tokoh aku tidak menjumpai lagi Maria, karena Maria telah tiada dan kini  dalam menjajakan  digantikan Ina, tetapi tidak selaku Maria dalam menjajakan kue, karena orang membelinya lantaran kasihan sama Maria. Tokoh aku meyakini bahwa kematian Maria disebabkan oleh siksaan mak Pasah. Tokoh aku menyadari bahwa dialah yang sebenarnya memberikan jalan kepada hantu untuk membunuh Maria, lalu tiba-tiba tokoh aku sakit, selama menderita sakit itu yang selalu menjadi buah mulut dalam igauannya adalah Maria. Cerita tersebut telah terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, sekarang ibu dari tokoh aku telah tiada, tetapi  mak Pasah masih hidup dengan beralih berdagang emas. Sehainnga ia kaya dan bersuami muda.

Tokoh
Cerpen “Pada Pembotakan Terakhir” dapat dijumpai tokoh aku sebagai tokoh utama yang mempunyai kisah unik di masa lalunya, dimana si tokoh aku harus dibotaki kepalanya pada saat satu tahun sekali dan kejadian itu berulang hingga ia berusia tujuh tahun. “Ibu selalu suka membotaki kepalaku licin-licin. Semenjak aku masih bayi, setiap umurku bertambah setahun, aku mendapat hadiah kepala botak’. Terdapat juga tokoh Maria yang menjadi sahabat dari tokoh aku dan keseharian Maria adalah menjajakan kue dari rumah ke rumah. Dia juga sering mendapat perlakuan kasar dari enteknya, yaitu mak Pasah setelah diketahui bahwa ia sedang bermain. “Tiba-tiba saja rok Maria terpampang di mataku. Aku jadi kecut melihat ke wajahnya, kalau-kalau wajah Maria sama benar dengan wajahnya dalam mimpiku semalam’. Pada kutipan tersebut dapat diketahui bahwa dalam cerpen Pada Pembotakan terakhir” dijumpai pula tokoh Maria yang mempunyai hubungan persahatan dengan tokoh aku. Selain itu dijumpai pula tokoh Ibu dari tokoh aku yang penyanyang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan “Kuceritakan pada ibuapa yang aku liaht di dapur Mak Pasah. Ibu tak berkata apa-apa. Dia raih aku ke dadanya dan diusapnya kepalaku. Kemudian kudengar ibu berbisik:”Oo, Tuhan, jangan Kau jadikan anakku anak yatim. Panjangkanlah umurnya”. Terdapat juga tokoh kakek Montok yang mencukur rambut tokoh aku pada pembotakannya yang terakhir, hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.”Kakek Montok, si Tukang cukur telah mulai bekerja”. Terdapat juga tokoh mak Pasah yang menjadi entek dari tokoh Maria yang sangat ejam pada Maria, hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ”Dari rumah kami sellu saja, bahkan hampir setiap hari, bisa didengar pekikan Maria. Tahu makian mak Pasah yang tak alang-kepalang seramnya. Kecut aku mendengarnay. Tapi aku erasa pilu mendengar Maria minta ampun. “terdapat juga tokoh ayah dari tokoh aku, terdapat dalam kutipan “Sedang esok harinya , pagi-pagi benar, aku dibawa ayah ke rumah pak cik di kota kelahiran ayah”. Ada pula tokoh pak cik yang merupakan saudara dari tokog ayah yang akan dikunjungi rumahnya oleh tokoh ayah dan tokoh aku. Terdapat pula tokoh nenek dari tokoh aku sebagai promotor segala upacara pembotakannya dari yang pertama hingga yang keenam.

Latar
 
Dalam cerpen “Pada Pembotakan Terakhir” latar yang ditampilkan adalah rumah yang dijadikan tempat untuk perayaan pembotakan tokoh aku. Selain itu juga digambarkan sekelumit tentang lingkungan tempat tinggal tokoh-tokohnya, yaitu tempat tinggal antara tokoh aku dan tokoh Maria.
“Rumah Maria terletak dibelakang rumahku. Jadi rumah kami berbekang-belakangan. Dan sebuah selokan besar, tempat segala sampah dilemparkan dan dihanyutkan air bila hujan lebat, membatasi halamn rumah kami. Lebar selokan itu sekitar tiga meter. Tapi dalamnya bukan main, jika dilihat dengan mata kanak-kanakku. Dan kedua belah tepinya ditumbuhi oleh aur. Karena na tak pernah orang tua kami berniat untuk membuat jembatan untuk melintasiya. Hingga untuk mendatangi rumah Maria haruslah kami jalan berbelok dahulu melintasi tidak kurang dari sepuluh rumah. Untuk anak-ankak seusiaku, jalan yang akan ditempuh itu sudah jauh rasanya. ”Latar tempat dimaksudkan untuk menumbuhkan konflik pertemanan tokoh aku dan Maria yang dibatasi bukan hanya karena jarak, tetapi kehidupan Maria yang dikekang oleh enteknya.
Selain itu juga terdapat latar waktu pagi hingga sore, dimana diceritakan aktivitas Maria menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Hal ini terdapat dalam kutipan “Kehidupan mak pasah membuat kue. Maria disuruh menjualnya di sepanjang jalan. Pagi Panekuk, siang bubur delima, dan sore limping. Kue Maria selalu laku, orang suka membelinya. Tak perlu ia meneriakkannya, dia datangi saja rumah orang, tentu orang akan membelinya”. Selain itu terdapat juga latar waktu malam, dimana latar waktu tersebut dimaksudkan untuk mempertegas penggambaran kisah pertemanan antara tokoh aku dan Maria yang dialami oleh tokoh aku lewat mimpinya ketika tidur pada suatu malam. Hal ini terdapat pada kutipan “Dan malamnya aku tidak bermimpi nenek, Melainkan bermimpi Maria. Adegan Maria sesenja tadi berulang lagi dalam mimpiku”.

Tema
    Konflik merupakan tema dari cerpen “Pada Pembotakan Terakhir ”Tema ini dapat dijumpai dalam peristiwa dan  pikiran tokoh aku. Dalam cerpen ini tedapat pertentangan paham antara orang tua dan anak-anak. Di mana orang tua tidak memberikan kebebasan pada si anak untuk menikmati masa kecilnya dengan bahagia. Si anak dituntut untuk mencari uang, seperti yang dialami oleh tokoh Maria, dimana kesehariannya ia habiskan untuk berjualan kue, ketika diketahui oleh mak Pasah bahwa Maria sedang bermain, maka dianiayalah Maria tersebut. Pada pemikiran tokoh aku juga terdapat keinginan tokoh aku untuk memberontak tindakan mak Pasah tersebut yaitu denagn cara melaporkan kepada ibunya, tetapi tokoh aku tidak berani melakukan hal itu. Penggambaran konflik tersebut berkaitan erat dengan psikologi seorang anak, dimana anak tidak diperbolehkan mendapat tekanan dan kekerasan.

Konteks Zaman
Cerpen “Pada Pembotakan Terakhir”, Merupakan hasil inspirasi pengarang atas tradisi yang ada di tanah kelahiran pengarang. Menurut Rifattere (1978) suatu karya sastra tidak diciptakan dari ruang yang kosong dan hampa. Sastra tidak berasal dari ketiadaan kemudian diciptakan oleh pengarang. Karya sastra tercipta dalam sebuah komposisi situasi yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat yang membuat pengarang menemukan kreatifitas, daya imajinasi, orientasi tentang orang-orang yang membaca, dan gagasan atau pandangan dunia adalah serngkaian elemen-elemen sosialyang diperoleh pengarang dan masyarakatnya. Dalam cerpen ini pengarang ingin mengangkat masalah tradisi orang Minangkabau, tetapi ada ketidaksinkronan antara  cerita dalam cerpen dengan realitas yang ada dalam masyarakat Minang (Melayu). Di dalam masyarakat Melayu tidak mengenal upacara pembotakan rambut yang dilakukan pada setiap tahunnya dan mayarakat melayu mengenalnya dengan istilah akikah yang dilaksanakan pada hari ke tujuh kelahiran bayi.Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi denagn nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas negeri ini. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah adat Basandi syara  ‘Syara’ Basandi kitabullah eksistensi Islam dalam kehidupan social masyarakatnya dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian orang Minang. Melalui cerpen ini, pengarang ingin mengangkat tentang bagaimana tradisi gotong royong, silahturahmi, dan kekerabatan yang telah menjadi tradisi masyarakat Minang. Sebagaimana menurut ungkapan pepatah adat mengatakan, Hati Gajah Sama di Lapah, Hati Semut Sama di Cecah atau berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Hal ini mengandung filsafat yang bermakna yang sangat dalam sekali yang mengandung nilai-nilai asas gotong-royong, silaturrahmi, kekerabatan dan sebagainya.

Penutup
    Setelah mengkaji cerpen “Pada Pembotakan Terakhir” karya A.A. navis, akhirnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.Pengaluran cerpen “Pada Pembotakan Terakhir” sedikit rumit karena alurnya maju, mundur, dan maju. Dengan membaca cerpen secara kontekstual, pembaca dapat memahami bahwa cerpen tersebut menceritakan kejadianyang pernah dialami tokoh utama di masa lampau dan suasana penceritaan kembali ke masa saat ini, dimana saat tokoh utama berusaha mengingat kembali kejadian yang menimpanya di masa lampau.
    Penamaan tokoh dalam cerpen”Pada Pembotakan Terakhir” terinspirasi dari latar belakang penulis, yaitu daerah Minangkabau. Dimana disebutkan tokoh mak Pasah dan pak cik yang merupakan sebutan bagi masyarakat melayu, termasuk didalamnya Minangkabau. Yang menonjol dari cerpen ini adalah adanya tradisi potong rambut yang digelar secara besar-besaran,

Daftar Urutan Sekuen Cerpen “ Pada Pembotakan Terakhir”
1.    Deskripsi tentang suasana batin tokoh aku ketika berusaha mengingat kejadian dua puluh lima tahun yang lalu.
2.    Tokoh aku memulai cerita masa lalunya.
3.    Ibu dari tokoh aku yang suka membotaki kepalanya, semenjak dia bayi dan setiap umurnya bertambah satu tahun.
4.    Pembotakan pertama kali merupakan perayaan tergemilang dalam segala perayaan yang diperuntukkan baginya.
5.    Lebih dari sepuluh orang yang memegang perayaan itu, tidak ada lagi kini Sudah berpulang.
6.    Pada pembotakannya yang terakhir, yaitu dikala usianya tujuh tahun, sengaja tak dirayakan.
7.    Penguburan Neneknya, seorang promotor segala perayaan t lima belas hari sebelumnya.
8.    Pembotakan terus berlanjut, tanpa upacara dan pesta-pestaan, hanya tiga orang yang hadir yaitu aku, kakek Montok, dan Maria.
9.    Maria inilah yang memberikan bahan cerita celaka ini melalui pembotakannya.
10.    Tindakan tokoh aku yang jarang bergaul dengan Maria, walaupun tiga kali sehari Maria datang ke rumahnya untuk menjajakan kue.
11.    Ketidak sengajaan tokoh aku bertemu dengan Maria lalu mereka mengahabiskan waktu untuk bermain bersama.
12.     Kemarahan mak Pasah, enteknya Maria ketika mengetahui  Maria sedang bermain dengan tokoh Aku.
13.    Pelarangan Ibu tokoh aku agar tokoh aku untuk bermain dengan Maria.
14.    Penyiksaan Maria  oleh mak Pasah ketika dia diketahui sedang bercakap-cakap dengan tokoh aku(=sekuen 12).
15.    Maria disuruh menjual kue dan tokoh aku selalu dibelikan oleh ibunya kue jualan Maria.
16.    Tokoh aku menghutang kue kepada Maria ketika ibunya tidak ada di rumah.
17.    Sambil menunggu ibunya datang, mereka menghabiskan waktu untuk bermain.
18.    Kemarahan mak Pasah ketika mengetahui Maria sedang bermain dengan tokoh aku(=sekuen 12 dan 14).
19.    Tindakan tokoh aku yang berlari menuju rumah mak Pasah untuk membayar hutang kue.
20.    Tokoh aku kembali ke rumah sebelum sempat bertemu dengan mak Pasah lantaran ketakutan melihat apa yang terjadi di dapur mak pasah.
21.    Tokoh aku menceritakan kepada ibunya tentang apa yang terjadi di dapur mak Pasah.
22.    Peristiwa itu terjadi sebelum pembotakkannya yang terakhir dan malamnya ia berminpi buruk tentang Maria.
23.    Pembotakannya yang terakhir oleh kakek Montok tepat di usia tujuh tahunnya.
24.    Kedatangan Maria di acara pembotakannya yang terakhir dengan kondisi sama persis dalam mimpi tokoh aku semalam.
25.    Tindakan Maria membohongi tokoh aku dan kakek Montok akan penyakityang dideritanya.
26.    Kegirangan tokoh aku ketika megetahui kepalanya sudah botak dan tidak sengaja menyentuh jualannya Maria hingga tahambur di tanah.
27.    Ketakutan Maria untuk pulang ke rumah mak Pasah, karena jualannya jatuh di tanah.
28.    Kepergian tokoh aku dan ibunya ke rumah mak Pasah untuk mengganti dagangannya yang jatuh.
29.    Ketakutan tokoh aku ketika berada di rumah mak Pasah, karena dilihatnya mak pasah bagai hantu seperti dalam mimpinya.
30.    Kepergian tokoh aku mengunjungi rumah kerabatnya dan kembalinya tokoh aku dari rumah kerabatnya.
31.    Kekecewaan tokoh aku, karena tidak menjumpai Maria melainkan ina yang menggntikan Maria berjualan kue.
32.    Keyakinan tokoh aku bahwa kematian Maria disebabkan oleh siksaan mak Pasah.
33.    Perasaan bersalah tokoh aku akibat kematian Maria dan akhirnya tokoh aku menderita sakit.
34.    Diterangkan bahwa kejadian itu sudah dua puluh lima tahun berlalu.
35.    Ibunya telah lama meninggal, tetapi mak Pasah masih hidup.
36.    Kehidupan mak Pasah yang kaya raya dan bersuami muda, karena ia beralih berjualan emas.

Jumat, 25 Mei 2012

Menjadi Guru Ternyata Bukanlah Hal yang Mudah

Menjadi Guru Ternyata Bukanlah Hal yang Mudah

    Aktivitas proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Tugas utama seseorang guru ialah mendidik dengan menggunakan mengajar sebagai pelaksanaan tugasnya, siswa aktif belajar sebagai dampaknya, perubahan pola pikir dan perilaku sesuai dengan yang diharapkan sebagai hasilnya. Tanggung jawab keberhasilan pendidikan berada di pundak guru. Oleh karena  itu, untuk menjadi seorang guru harus melalui pendidikan dan latihan khusus serta dengan keahlian khusus.
Perubahan peran guru yang tadinya sebagai penyampai pengetahuan dan pengalih pengetahuan dan pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar, berubah peran menjadi pembimbing, Pembina, pengajar, dan pelatih, yang berarti membelajarkan. Sehingga, guru harus mampu menciptakan suasana kelas yang menyenangkan bukan menegangkan agar siswa mudah menerima materi pelajaran dan siswa juga  terpancing untuk  berperan aktif di dalam proses pembelajaran.  Guru di masa kini bukanlah sosok  momok yang perlu dihindari.Ketika masuk di ruangan kelas,  sebaiknya guru tidak memasang wajah masam dan garang, guru harus berusaha tersenyum dan akrab terhadap siswa tanpa mengurangi wibawanya sebagai seorang guru.  Guru juga dituntut untuk professional, dalam artian bila sedang mendapat masalah tidak boleh dilampiaskan ke anak didiknya. Seorang guru harus pandai mengontrol emosinya, bila tidak maka bisa berakibat fatal. Banyak kasus yang kita saksikan lewat media massa atau media elektronik memngenai apa yang  terjadi dalam wajah dunia pendidikan kita, bahwa masih ada tindak kekerasan dan penganiayaan di dalam lingkungan sekolah, baik antara guru dengan siswa maupun antar siswa. Sungguh hal ini sangat ironi, Lingkungan sekolah yang seharusnya dijadikan wadah untuk menelorkan generasi-genarasi yang bermutu dan bermoral, tetapi diselingi juga dengan tindakan amoral.


Di dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru hendaknya tidak pandang bulu dan memperlakukan siswanya dengan adil, karena guru merupakan orang tua ke dua bagi siswa. Jadi guru bukan hanya mendidik tetapi juga mampu mengayomi peserta didiknya selama dalam lingkungan sekolah. Guru juga harus menjalin hubungan baik dengan wali murid, agar  masalah-masalah yang berkaitan dengan murid tersebut mudah diatasi karena keberhasilan suatu pendidikan juga tidak terlepas dari peranan wali murid.
Dalam  bahasa Jawa, guru itu artinya digugu dan ditiru, maksudnya disini guru harus bisa memberikan nasihat dan teladan yang baik bagi anak didiknya. Maka dalam istilah bahasa Indonesia dikatakan bahwa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Oleh karena itu, di dalam berbicara dan bertindak hendaklah hati-hati, agar bisa dijadikan teladan yang baik oleh anak didiknya. Beban dan tanggung jawab seorang guru tidak hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi ketika di dalam lingkungan masyarakat, guru juga menjadi teladan dan sorotan oleh lingkungannya, ibarat kata  keberadaan seorang guru di lingkungan masyrakat itu bagai berjalan di atas duri, kapan salah melangkah pasti akan kena akibatnya. Oleh karena itu, seorang guru harus pandai menempatkan diri di dalam lingkungan masyarakatnya, agar image guru sebagai sosok teladan masih tersemat di pundak guru.Menjadi seorang guru ternyata memang bukanlah hal yang mudah dan tidak boleh begitu saja dipandang dengan sebelah mata. Oleh karena itu, sebutan Pahlawan Tanda Jasa memang pantas disandang oleh guru yang benar-benar tulus mengabdi kepada bangsa.







Analisis Citraan (Imagery) dalam Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Demokrasi Dunia Ketiga, dan Sajak Palsu Karya Agus R. Sarjono

ABSTRAK


Puisi sebagai karya sastra diciptakan untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, dan juga untuk menarik perhatian. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan. Lewat puisi, seorang penyair dapat menciptakan imaji yang segar dan hidup serta berada dalam puncak keindahan. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah citraan dalam sajak-sajak Agus R. Sarjono yang berjudul Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Demokrasi Dunia Ketiga, dan Sajak Palsu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa empat sajak karya Agus R. Sarjono. Empat sajak yang dimaksud adalah Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Demokrasi Dunia Ketiga, dan Sajak Palsu. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah teknik baca catat.
Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa citraan-citraan yang terdapat dalam empat sajak karya Agus R. Sarjono secara keseluruhan memiliki citraan penglihatan, pendengaran, perasaan, dan gerak.














BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
 Suatu karya sastra tidak tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pada intinya pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya sehingga mampu menciptakan suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pengamatan, pemikiran, refleksi  dan pengamatan budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat atau apa yang terjadi pada lingkunagn sekitarnya.
Karya sastra juga merupakan suatu krucutusi subjektif pengarang dalam memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan sesuatu hal. Dalam hal ini karya sastra tercipta tidak hanya semata-mata ciptaan suatu individu an sich dari pengarang, tetapi ciptaan dari apa yang disebut Lucian Goldmann struktur mental dari suatu individual dari sebuah kelompok sosial, ide-ide, nilai-nilai, dan cita-cita yang diyakini dan dihidupi oleh kelompok sosial tertentu yang sesuai dengan pemikiran pengarang (Eglaton, 2002 :58).
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinsasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berada pada kulutur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra demikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumen social budaya (Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001 : 61).
Karya sastra secara umum bisa dibedakan menjadi tiga: puisi, prosa, dan drama. Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata poet dalam tradisi Yunani Kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Ada beerapa pendapat para ahli mengenai definisi puisi yaitu Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama. Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik. Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. Herman J. Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Ada juga yang mengatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan.
Untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana, untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam puisi penyair juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan dalam puisi ini disebut citraan (imagery) Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran.
Citraan dalam puisi adalah penggambaran mengenai objek berupa kata, frase, atau kalimat yang tertuang di dalam puisi atau prosa. Citraan dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang hal-hal yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyair. Dengan demikian, unsur citraan dapat membantu kita dalam menafsirkan makna dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh. jenis citraan dibagi menjadi 7, yakni: citraan penglihatan, yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihat (mata). Citraan ini dapat memberikan ransangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat; citraan pendengaran, yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera pendengar (telinga). Citraan ini dapat memberikan ransangan kepada telinga sehingga seolah-olah dapat mendengar sesuatu yang diungkapkan melalui citraan tersebut; citraan perabaan, yaitu citraan yang melibatkan indera peraba (kulit), misalnya kasar, lembut, halus, basah, panas, dingin, dll; citraan penciuman, yaitu citraan yang berhubungan dengan indera pencium (hidung). Kata-kata yang mengandung citraan ini menggambarkan seolah-olah objek yang dibicarakan berbau harum, busuk, anyir, dll; citraan pencecapan, yaitu citraan yang melibatkan indera pencecap (lidah). Melalui citraan ini seolah-olah kita dapat merasakan sesuatu yang pahit, asam, manis, kecut, dll; Citraan gerak, yaitu citraan yang secara konkret tidak bergerak, tetapi secara abstrak objek tersebut bergerak; Citraan perasaan, yaitu citraan yang melibatkan hati (perasaan). Citraan ini membantu kita dalam menghayati suatu objek atau kejadian yang melibatkan perasaan.
Karya sastra, termasuk puisi, adalah sebuah struktur. Sebuah struktur menyiratkan adanya unsur-unsur pembentuk. Puisi adalah sebuah struktur yang kompleks, yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berjalinan dengan erat. Unsur-unsur itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Sebuah unsur hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya di dalam struktur itu dan kaitannya dengan keseluruhannya. Unsur dalam struktur adalah unsur fungsional, yaitu mempunyai tugas (fungsi) tertentu dalam menyusun struktur.
Puisi adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah dianalisis. Oleh karena itu, peneliti akan menganalisis salah satu unsur puisi yaitu Citraan dalam sajak-sajak Agus R. Sarjono dengan menganalisis citraan dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang hal-hal yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyair. Dengan demikian, unsur citraan dapat membantu kita dalam menafsirkan makna dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh.







1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang diangkat dalam analisis ini adalah  penggunaan citraan dalam sajak-sajak Agus R. Sarjono?

1.3 Tujuan
Tujuan analisis ini yaitu untuk mendeskripsikan citraan yang digunakan penyair dalam puisinya yang berjudul Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Sajak Palsu, dan Demokrasi Dunia Ketiga.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari analisis ini adalah.
1.    Manfaat teoritis, yaitu dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang sastra, terutama mengenai unsur  citraan dalam puisi
2.    Manfaat praktis, yaitu bagi Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, analisis ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memotivasi ideatau gagasan baru lebih kreatif dan inovatif dalam hal menganalisis unsure citraan dalam puisi.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2.1    Definisi Puisi
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat, menciptakan. Sedangkan kata poet dalam tradisi Yunani Kuno berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. Berikut ini ada beberapa pendapat mengenai definisi puisi, antara lain:
1.    Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
2.    Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
3.    Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.
4.    Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.
5.    Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
6.    Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
7.    Herman J. Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
Jadi, puisi adalah bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan.
2.2    Unsur-Unsur Puisi
Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut.
1.    Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.
2.    Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.
3.    Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.
4.    Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
5.    Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.    Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
2.    Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
3.     Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
4.    Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari  sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.    Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
2.    Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
3.     Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
4.    indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
5.    Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
6.    Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
7.    Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi

2.3    Definisi Citraan
Untuk memberikan gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana, untuk membuat lebih hidup dan menarik, dalam puisi penyair juga sering menggunakan gambaran angan. Gambaran angan dalam puisi ini disebut citraan (imagery). Citraan /imaji (imagery) dalam puisi dapat diartikan sebagai suatu penggambaran pengalaman yang berhubungan deengan benda,peristiwa dan keadaan yang dialami penyair dengan menggunakan kata-kata yang khas agar dapat memberikan gambaran secara lebih nyata,baik hal yang yang bersifat kejiwaan, kebendaan maupun metaforik. Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata (indera penglihatan). Citraan tidak membuat kesan baru dalam pikiran.  Citraan merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 1987).

2.4    Jenis-Jenis Citraan
Jenis Citraan dibagi menjadi 7, yakni:
1. Citraan penglihatan (visual imagery), yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihat (mata). Citraan ini dapat memberikan ransangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat.
2. Citraan pendengaran (auditory imagery), yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera pendengar (telinga). Citraan ini dapat memberikan ransangan kepada telinga sehingga seolah-olah dapat mendengar sesuatu yang diungkapkan melalui citraan tersebut.
3. Citraan perabaan (tactual imagery), yaitu citraan yang melibatkan indera peraba (kulit), misalnya kasar, lembut, halus, basah, panas, dingin, dll.
4. Citraan penciuman (alvaktory imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera pencium (hidung). Kata-kata yang mengandung citraan ini menggambarkan seolah-olah objek yang dibicarakan berbau harum, busuk, anyir, dll.
5. Citraan pengecapan( gustatory imagery), yaitu citraan yang melibatkan indera pencecap (lidah). Melalui citraan ini seolah-olah kita dapat merasakan sesuatu yang pahit, asam, manis, kecut, dll.
6. Citraan gerak (kinestetik imagery) adalah citraan yang ditimbulkan oleh gerak tubuh /otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan tersebut.
7. Citraan perasaan, yaitu citraan yang melibatkan hati (perasaan). Citraan ini membantu kita dalam menghayati suatu objek atau kejadian yang melibatkan perasaan.

2.5    Fungsi Citraan dalam Puisi
Dalam hubungannya dengan fungsi puitik dalam puisi, fungsi citraan yaitu mengantarkan pesan dari penulis agar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh indera penulis yang tertuang dalam puisinya. Dengan citraan, pembaca maupun pendengar dapat mengindera puisi dengan pemahaman masing-masing. Selain itu, citraan dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang hal-hal yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyair. Dengan demikian, unsur citraan dapat membantu kita dalam menafsirkan makna dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN



3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan didukung oleh relevansi baik berupa teks puisi maupun sumber buku penunjang lainnya yang mencakup masalah penelitian ini. Objek kajiannya berupa teks puisi dalam hal ini Sajak-Sajak Agus R. Sarjono.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Deskriptif maksudnya adalah penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai data yang terdapat dalam Sajak-Sajak Agus R. Sarjono. Kualitatif dipakai untuk menganalisis atau menguraikan konsep-konsep yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dikatakan kualitatif karena di dalamnya tidak menggunakan prinsip-prinsip statistic tetapi berpedoman pada teori-teori sastra yang ada kaitannya dengan pendekatan objektif (struktural).

3.2 Data dan sumber Data
Data dan sumber data yang digunakan dalam analisis ini adalah sajak-sajak Agus R. Sarjono, diantaranya Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Sajak Palsu, dan Demokrasi Dunia Ketiga, dengan unsure yang membangun sajak yaitu citraan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah teknik baca catat. Teknik baca yang dimaksud adalah membaca kritis. Teknik membaca kritis merupakan kegiatan membaca yang dilakukan secara mendalam, evaluatif, serta analitis. Membaca kritis yang dimaksud adalah membaca dan menelaah Sajak-Sajak Agus R. Sarjono. Teknik pencatatan yaitu digunakan untuk mencatat data-data yang diperoleh dari hasil pembacaan yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.

3.4 Teknik Analisis Data
Analisis sajak-sajak Agus R. Sarjono yaitu Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Sajak Palsu, Demokrasi Dunia Ketiga. Keempat sajak tersebut dianalisis salah satu unsurnya yaitu unsure citraan. Citraan merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 1987). Analisis citraan tersebut dimaksudkan untuk mengantarkan pesan dari penulis agar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh indera penulis yang tertuang dalam puisinya. Selain itu, citraan dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang hal-hal yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyair. Dengan demikian, unsur citraan dapat membantu kita dalam menafsirkan makna dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh.
Berdasarkan sajak-sajak tersebut peneliti mengidentifikasi jenis-jenis citraan apa saja yang digunakan Agus R. Sarjono dalam sajak-sajaknya yang berjudul Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Sajak Palsu, dan Demokrasi Dunia Ketiga. Adapun jenis citraan ada tujuh, antara lain: citraan penglihatan (visual imagery), yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihat (mata); citraan pendengaran (auditory imagery), yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera pendengar (telinga); citraan perabaan (tactual imagery), yaitu citraan yang melibatkan indera peraba (kulit); citraan penciuman (alvaktory imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera pencium (hidung); citraan pengecapan( gustatory imagery), yaitu citraan yang melibatkan indera pencecap (lidah); citraan gerak (kinestetik imagery),  yaitu citraan yang secara konkret tidak bergerak, tetapi secara abstrak objek tersebut bergerak; citraan perasaan, yaitu citraan yang melibatkan hati (perasaan).











BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Analisis Citraan (Imagery) dalam  Syair Senja Hari

Syair Senja Hari

Menatap senja sambil menghirup teh pelan-pelan
matahari beringsut meninggalkan jejak-jejak jingga
dan warna keemasan di gelas tehku. Burung pun
beterbangan seperti kawan-kawan menghilang
tanpa selembar bulu pun tertinggal. Begitu rapi

jarum jam mengemas semua kenangan tersisa. Aku masih
di sini mencatati angin. Pada cuaca, daun-daun
 yang luruh menuju malam menyisakan warna ungu
cakrawala yang alpa didaki bintang. Kuistirahatkan

darah dari geledak jalanan tanah air dukaku. Kukenang
nyanyian-nyanyian lama dengan asmara dan rindu-dendanm
bersama harapan yang terlalu basah untuk membujuk
fajar yang samar bagai akan tiba, begitu lama
bagai akan datang. Seperti biasa, kita pun melupakannya
hingga tiba-tiba berdiri terpaku pada siang diteriknya
Kita jemur segala air mata. Sambil menghirup teh

diam-diam dia mengunyah sisa mimpi dan cemas yang
bersama matahari, malam pun tiba tanpa suara
sementara bintang-bintang bergerak ke angkasa
menggoreskan warna-warna berpendaran tempat jarum
melukis jejak senyuman. Terasa ada yang terbakar
bersama rokokku. Tak sempat kuterka warna asap
yang mengabut ke dingin sajak-sajakku

1992

Pada syair Senja Hari tersebut penyair menggunakan beberapa citraan, antara lain sebagai berikut.

1.    citraan penglihatan, citraan tersebut terdapat pada bait pertama
 Menatap senja sambil menghirup teh pelan-pelan
matahari beringsut meninggalkan jejak-jejak jingga
dan warna keemasan di gelas tehku. Burung pun
beterbangan seperti kawan-kawan menghilang
tanpa selembar bulu pun tertinggal. Begitu rapi

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena lirik puisi pada bait tersebut  memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pembaca seolah-olah menatap senja dan pembaca melihat matahari beringsut meninggalkan jejak-jejak jingga dan warna keemasan, dan pembaca juga seolah-olah melihat burung beterbangan seperti kawan-kawan menghilang tanpa selembar bulu pun tertinggal.
Selain itu, citraan penglihatan  terdapat juga pada bait kedua, yaitu pada larik
pada cuaca, daun-daun yang luruh
 menuju malam menyisakan warna ungu.

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena Pada larik tersebut, pembaca seakan-akan melihat daun-daun luruh menuju malam menyisakan warna ungu.

2.    Citraan perasaan, citraan tersebut terdapat pada bait ketiga yaitu pada larik:
Darah dari geledak jalanan tanah air dukaku. Kukenang
nyanyian-nyanyian lama dengan asmara dan rindu-dendam
bersama harapan yang terlalu basah untuk membujuk
fajar yang samar bagai akan tiba, begitu lama bagai akan dating

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan perasaan karena lirik puisi pada larik tersebut melibatkan hati (perasaan) pembaca dalam memahami makna puisi. Pembaca ikut merasakan bagaimana penyair merasakan duka dan mengenang nyanyian-nyanyian lama dengan asmara dan rindu-dendam dan bersama harapan yang terlalu basah untuk membujuk fajar yang samar bagai akan tiba, begitu lama bagai akan datang.

3.    Citraan gerak, citraan tersebut terdapat pada bait ketiga yaitu pada larik:
Seperti biasa, kita pun melupakannya
hingga tiba-tiba berdiri terpaku pada siang diteriknya
kita jemur segala air mata. Sambil menghirup teh

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan gerak karena pada lirik puisi tersebut seakan-akan pembaca merasakan atau melihat gerakan berdiri terpaku pada siang diteriknya dan menjemur segala air mata sambil menghirup teh.


4.2    Analisis Citraan (Imagery) dalam Sajak Syair Pindah Rumah

Syair Pindah Rumah

Sambil mengemasi barang-barang
dan kenangan, berapa kali sebenarnya
kita sanggup berpindah rumah, merubah alamat
dan tempat pelangi. Pada saat-saat begini
aku ingin tiduran saja di atas gumpalan awan
atau di dadamu, memandangi matahari terbit
atau tenggelam seperti raja-raja dan negeri-negeri
pada dongengan silam. Kupandangi engkau menyapu halaman
membersihkan guguran kenangan
dan daun-daun lalu membakarnya
hingga sunyi membumbung keangkasa
tapi kulihat juga orang-orang terusir
dari tanah-tanah leluhur, ladang dan sawah
yang subur menjadi pengembara
sambil membawa-bawa sapu dalam ingatan,
melewati ribuan malam, ribuan siang
menggunakan impian tentang rumah
dan sebuah halaman kecil
untuk bisa disapu setiap pagi
agar anak-anak bisa berlarian
di bawah matahari. Tapi berapa kali
sebenarnya dalam hidup kita sanggup
berpindah rumah merubah alamat
dan tempat pulang?

Kulihat seekor laba-laba tertiup angin ke selokan
Gugup mencari ranting-ranting pepohonan
Tempatnya selama ini menganyam
Jaring-jaring rasa aman dan kenangan.
Tapi haya air semata di sana tempat dunia
menjadi serba berbeda di antara katak
dan ikan tanpa serangga
yang dikenal tanpa tetangga yang biasa
meski matahari dan hujan masih yang dulu juga.
Di saat-saat begini
aku ingin tiduran saja di atas gumpalan awan

atau dadamu sambil menukar-nukar peta
di cakrawala membayangkan sebuah rumah lain
tempat kita bakal berpindah dan terusir selamanya

1995


Pada syair Pindah Rumah  tersebut penyair menggunakan beberapa citraan, antara lain sebagai berikut.
1.    Citraan gerak, citraan tersebut terdapat  pada baik pertama yaitu pada larik:
Sambil mengemasi barang-barang
dan kenangan, berapa kali sebenarnya
kita sanggup berpindah rumah, merubah alamat
dan tempat pelangi. Pada saat-saat begini
aku ingin tiduran saja di atas gumpalan awan
atau di dadamu

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan gerak karena lirik puisi pada larik tersebut tampak bahwa seolah-olah pembaca melihat atau merasakan gerakan mengemasi barang-barang dan kenangan, berpindah rumah, merubah alamat dan tempat pelangi, dan tiduran di atas gumpalan awan atau di dadamu.


Selain itu, citraan gerak terdaat juga pada bait pertana, yaitu pada larik: agar anak-anak bisa berlarian di bawah matahari.  Lirik puisi pada larik tersebut tampak bahwa seolah-olah pembaca melihat atau merasakan gerakan anak-anak bisa berlarian di bawah matahari.


2.    Citraan penglihatan, citraan tersebut terdapat  pada baik pertama yaitu pada larik:
Kupandangi engkau menyapu halaman
membersihkan guguran kenangan
dan daun-daun lalu membakarnya
hingga sunyi membumbung keangkasa
tapi kulihat juga orang-orang terusir
dari tanah-tanah leluhur, ladang dan sawah
yang subur menjadi pengembara
sambil membawa-bawa sapu dalam ingatan,
melewati ribuan malam, ribuan siang
menggunakan impian tentang rumah

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena lirik puisi pada larik-larik tersebut  memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pembaca seolah-olah melihat sosok engkau dalam puisi menyapu halaman, membersihkan guguran kenangan dan daun-daun lalu membakarnya hingga sunyi membumbung keangkasa dan melihat orang-orang terusir dari tanah-tanah leluhur, ladang dan sawah yang subur menjadi pengembara sambil membawa-bawa sapu dalam ingatan, melewati ribuan malam, ribuan siang menggunakan impian tentang rumah

Selain itu, citraan penglihatan terdapat juga pada bait kedua yaitu pada larik:
Kulihat seekor laba-laba tertiup angin ke selokan
gugup mencari ranting-ranting pepohonan
tempatnya selama ini menganyam
jaring-jaring rasa aman dan kenangan.

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena lirik puisi pada larik tersebut  memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pembaca seolah-olah melihat seekor laba-laba tertiup angin ke selokan,gugup mencari ranting-ranting pepohonan tempatnya selama ini menganyam jaring-jaring rasa aman dan kenangan


4.3    Analisis Citraan (Imagery) dalam Sajak Demokrasi Dunia Ketiga

Demokrasi Dunia Ketiga

Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau…Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjukkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula
kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu
yaitu kamu harus demokratis!
Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
Saya telah mencoba…Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demikratis, habis perkara! Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang
akan melindasmu habis. Jadi jangan macam-macam
yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!

1998

Pada Syair Senja Hari tersebut, penyair menggunakan beberapa citraan,  antara lain sebagai berikut.

1.    Citraan penglihatan, citraan tersebut terdapat pada larik:
Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu
dari pelipisku

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena lirik pada larik itu  memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah pembaca dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pembaca seolah-olah melihat sosok engkau dalam puisi yang sedang mengepalkan tinju ke pelipisnya.

2.    Citraan gerak, citraan tersebut terdapat pada larik:
bukankah engkau…Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjukkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan gerak karena pada lirik puisi tersebut  pembaca seakan-akan merasakan atau melihat gerakan sosok engkau dalam puisi yang tutup mulut dan gerakan yang akan dilakukan oleh sosok aku dalam puisi yang akan mengepalkan tinjunya, disimpan disaku atau ditonjokkan ke hidung sosok engkau dalam puisi.

3.    Citraan Pendengaran, citraan tersebut terdapat pada larik:
Lagi pula kita tidak sedang bicara soal aku,
tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis!
Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
Saya telah mencoba…Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demikratis, habis perkara!
Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan pendengaran karena lirik  pada larik tersebut  memberikan ransangan kepada telinga sehingga seolah-olah dapat mendengar sesuatu yang diungkapkan melalui citraan tersebut. Dalam lirik  puisi tersebut pembaca seakan-akan  mendengar percakapan sosok kamu dan aku dalam puisi, dimana sosok aku menyuruh sosok kamu untuk demokratis dan sosok kamu pun menyetujuinya. Tapi sosok aku tidak mau mendengar jawaban dari sosok kamu karena hanya menganggapnya sebagai alas an belaka.




4.4     Analisis Citraan (Imagery) dalam Sajak Palsu

Sajak Palsu

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar
sejarah palsu dan buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai,
maka berdatanglah mereka ke rumah-rumah
bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop
berisi perhatian dan rasa hormat palsu .
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan
tolakan palsu, akhirnya pak guru dan ibu guru
terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu .
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan
palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsuyang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat
menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu
tapi diam-diam meminjam juga pinjaman
dengan izin dan surat palsu kepada bank negeri
 yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin
devisa palsu. Maka  uang-uang asing
menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu
ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
      gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar
begitu nyaring
dan palsu
Pada Sajak Palsu tersebut, penyair menggunakan beberapa citraan, antara lain sebagai berikut.

1.    Citraan Pendengaran, citraan tersebut terdapat pada larik “Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu”. Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan pendengaran karena lirik  pada larik tersebut  memberikan ransangan kepada telinga sehingga seolah-olah dapat mendengar sesuatu yang diungkapkan melalui citraan tersebut. Dalam lirik  puisi tersebut pembaca seakan-akan  mendengar murid yang memberikan ucapan palsu kepada Bapak/Ibu gurunya.

Selain itu, citraan pendengaran juga terdapat pada larik:

Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
      gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar
begitu nyaring
dan palsu

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan pendengaran karena lirik  pada larik tersebut  memberikan ransangan kepada telinga sehingga seolah-olah dapat mendengar sesuatu yang diungkapkan melalui citraan tersebut. Dalam lirik  puisi tersebut pembaca seakan-akan  mendengar sosok orang-orang dalam puisi yang meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan  gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.


2.    Citraan penglihatan, citraan tersebut terdapat pada larik “Di akhir sekolah, mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu”. Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena lirik pada larik itu  memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah pembaca dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pembaca seolah-olah melihat sosok mereka dalam puisi yang terperangah melihat hamparan nilai nilai mereka yang palsu.

Selain itu, citraan penglihatan terdapat juga pada larik:

 Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat
menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu
tapi diam-diam meminjam juga pinjaman
dengan izin dan surat palsu kepada bank negeri
 yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin
devisa palsu. Maka  uang-uang asing
menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu
ke dalam nasib buruk palsu.

Pada larik tersebut penyair menggunakan citraan penglihatan karena lirik pada larik itu  memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah pembaca dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Pembaca seolah-olah melihat sosok mereka dalam puisi yang menyaksikan kegiatan ekonomi dan pemerintahan yang serba palsu.

3.    Citraan gerak, citraan tersebut terdapat pada larik:
Karena tak cukup nilai,
maka berdatanglah mereka ke rumah-rumah
bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop
berisi perhatian dan rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan
tolakan palsu, akhirnya pak guru dan ibu guru
terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru.

Pada larik-larik puisi  tersebut penyair menggunakan citraan gerak karena pada lirik puisi tersebut  pembaca seakan-akan merasakan atau melihat gerakan sosok mereka dalam puisi yang mendatangi rumah bapak/ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu dan sambil tersipu palsu bapak/ibu guru tersebut membuat tolakan palsu, tetapi akhirnya diterima juga amplop tersebut dan  bapak/ibu guru tersebut berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.












BAB V
PENUTUP


5.1    Kesimpulan
Citraan atau pengimajian adalah gambar-gambar dalam pikiran, atau gambaran angan si penyair. jenis citraan dibagi menjadi 7, yakni: citraan penglihatan, yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihat (mata); citraan pendengaran, yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera pendengar (telingal; citraan perabaan, yaitu citraan yang melibatkan indera peraba (kulit); citraan penciuman, yaitu citraan yang berhubungan dengan indera pencium (hidung); citraan pencecapan, yaitu citraan yang melibatkan indera pencecap (lidah); citraan gerak, yaitu citraan yang secara konkret tidak bergerak, tetapi secara abstrak objek tersebut bergerak; dan citraan perasaan, yaitu citraan yang melibatkan hati (perasaan). Analisis citraan citraan dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang hal-hal yang ingin disampaikan oleh pengarang atau penyair. Dengan demikian, unsur citraan dapat membantu kita dalam menafsirkan makna dan menghayati sebuah puisi secara menyeluruh. Pada puisinya yang berjudul Syair Senja Hari, Syair Pindah Rumah, Demokrasi Dunia Ketiga, dan sajak Palsu Agus R. Sarjono menggunakan beberapa citraan antara lain citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, dan citraan perasaan.


5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan ada banyak hal pelajaran dan makna yang dapat kita petik dari dalam sajak. Oleh karena itu, kita dapat memetik hikmah dari peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam sajak.







DAFTAR PUSTAKA



http://gubukbahasasastra.blogspot.com/2009/07/citraan-dalam-puisi.html
http://bambuberderit.wordpress.com/2011/06/16/citraan-dan-fungsi-puitik-dalam-puisi-indonesia-modern-arifin-m-z/
 ww.google.co.id/search?q=citraan dalam puisi&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&source=hp&channel=np
http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/27/puisi-pengertian-dan-unsur-unsurnya/
http://www.indonesiapuisi.com/2011/09/unsur-unsur-puisi.html
http://anaksastra.blogspot.com/2008/10/resume-mata-kuliah-kajian-puisi-antara.html




















ANALISIS CITRAAN (IMAGERY) DALAM SYAIR SENJA HARI,
 SYAIR PINDAH RUMAH, DEMOKRASI DUNIA KETIGA,
 DAN SAJAK PALSU KARYA AGUS R. SARJONO






OLEH
APRILIA SUSANTI
A1D1 09 042




JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012




Wajah Kota yang Kelabu



Wajah Kota yang Kelabu

Bangunlah sayang pagi kan datang menjelang
Seruling anak gembala tak bangunkan tidurmu
Tanggalkan seragam merah putihnya
Demi kerasnya hidup ini
Pada padang ilalang dia melukis nasib
Pada gembalaannya, dia tambatkan hidup
Tak peduli, walau esok kian redup
Bersamaan gundulnya ladang ilalang
Yang tergantikan gedung-gedung pencakar langit

Betapa tak peduli akan nasibmu sayang
Yang datang dengan senyum meradang
Bahkan dia dianggap perusak hak-hak mereka

Bayang wajah tanpa penyesalan
 menghias wajah si  Gembala malang
Kata mereka, kau tak butuh si anak gembala malang
Pangeran berdasi siap temani tidur panjangmu
Pada tumpukan rupiah mereka baringkan dirimu

Hendak ditambat dimana raga ini tuan?
Pada kota yang angkuh atau desa yang meranggas
Deretan mobil plat merah tak mengusik  tidur pulasmu sayang
Taburkan butiran kepedihan pada jiwa yang tersemat sesal
Yang tak pernah melambungkan angan
Pada wajah polos gembala malang

Bangunlah sayang…! Sudah lima tahun Engkau tertidur lelap
Dalam rengkuhan para penghianat
Yang setia menikam uang rakyat
Tidak cukupkah waktu yang kau habiskan bersama mereka?
Masih banyak wajah-wajah polos menantikanmu
Membangun mimpi-mimpi mereka yang sempat kandas
Agar sejuta tangis, lekas terganti dengan sejuta senyum
Di wajah kota kelahiran

Kamis, 24 Mei 2012

Hikmah Dibalik Fitnah


    Siang itu kutapaki jalanan dengan tatapan kosong, entah apa yang aku pikirkan, semua berkecamuk jadi satu dalam otakku. Hingga tak kusadari, ada seorang teman berjalan di sampingku.”Siang bolong gini ngalamunin apa sih cin?”sapa Dewi dengan nada manjanya. No,comen..!” jawabku sekenanya. Aku bener-bener ga pengen diganggu. Untuk sejurus lamanya kita saling berdiam diri, hingga kita berpisah diperempatan jalan tanpa ada lambain tangan.  Kutelusuri gang sempit menuju asramaku dengan perasaan galau, “aku jadi tak sabar ingin menumpahkan  kepedihanku” Gumamku dalam hati. Setibanya di asrama, kukunci pintu dan kunyalakan kran air lalu kurebahkan diriku dan menangis sejadi-jadinya, saat ini hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengurangi kesedihanku. Setelah berhenti isak tangisku, ku coba ambil air wudhu, lalu shalat dzuhur agar hati dan pikiranku menjadi tenang. Tapi kata-kata itu masih saja terngiang ditelinga, sampai-sampai aku tak bisa khusyuk menjalankan shalat Dzuhur. “ Lena, kau terlalu sibuk, sampai-sampai kau tak tahu apa yang terjadi dengan keluargamu! Kata kerabatku yang kutemui kemarin. “Apa maksudnya mbak? Aku memang sudah lama gak pulang, tapi kita selalu komunikasi by Phone dan mereka semua baik-baik saja. Hmm…ternyata mereka menyembunyikan sesuatu dari kamu, tapi ya udahlah lupain aja dan anggap aja tidak terjadi apa-apa dengan keluaragamu!” ucap mbak itu dengan santainya. “Mbak, tolong katakan saja apa yang sedang terjadi dengan keluargaku, jangan buat saya penasaran seperti ini!kataku memelas. “ Ibumu, dia akan menikah dengan seseorang, dan kamu pasti tidak akan setujukan? Apa mbak, itu tidak mungkin karena ibu sudah janji tidak akan menikah lagi sepeninggal ayah, ibu tidak mungkin begitu aja melupakan janjinya!” Ucapku disela tangisku, bagai disambar petir di siang bolong. Ibu yang selama ini tak pernah mengecewakan anaknya, tapi hari bukan hanya mengecewakanku tapi menghancurkan hidupku. Tapi, Lena itulah kenyataannya dan kamu harus bisa terima itu semua, gak mudah lo len, menjadi seorang single parents. Jadi kamu ga boleh egois! Ucap mbak itu seakan menyadarkanku. Dasar aku kepala batu, aku tetap bersikeras melarang ibuku menikah lagi, dengan alasan aku tidak mau ada laki-laki lain menggantikan posisi ayah di rumahku. Mbak itu lalu menghela napas panjang, seakan ingin melepaskan beban berat yang dipikulnya,”Ta..pi, ibumu kecelakaan…! Aku paham apa yang dimaksud oleh mbak itu, jadi itu alasan ibu mau menikah lagi. Kebencianku sama ibu jadi berlipat-lipat ganda. Kata-kata itulah yang membulatkan tekadku untuk pulang kampung, meski aku belum libur dan aku tak sempat minta izin. Setelah selesai shalat Dzuhur, maka aku bersiap-siap untuk pulang kampung (pulkam), hanya pakaian di badan yang aq bawa, tidak seperti pulang kampung biasanya yang ribet mempersiapkan ini-itu, karena aku berpikir tidak akan lama di rumah, begitu masalah selesai, maka aku akan cepat balik ke Kendari , tempatku menempuh studi S1. Akhirnya, hari itu juga aku putuskan pulang untuk menemui ibu. Perjalanan pulang kali ini terasa melelahkan dan sangat lama, karena sudah tidak sabar minta penjelasan sama ibu tentang berita yang aku dengar. Pukul 18.40 WITA aku tiba di rumah dengan diiringi rintikan hujan  kulangkahkan kaki menuju rumah. Setelah kuketuk pintu dan mengucapkan salam, lalu ibu menghampiriku dengan basa-basinya” Kenapa pulang dadakan nak, tidak menelfon dulu sebelum pulang”.  Dengan emosi membuncah, kujawab pertanyaan ibu dengan amat kasar,” Ini rumahku, jadi aku berhak pulang kapan aja aku mau! Ku lihat, raut wajah tua ibu pucat pasi mendengar kata-kataku sekasar itu, padahal sebelumnya aku selalu berkata sopan dan lemah-lembut sama ibu. Belum istirahat, aku langsung membahas mengenai berita yang aku dengar. Ku lihat ibu berurai air mata dan bersumpah bahwa semua yang aku dengar itu tidak benar. Berkali-kali ibu berusaha meyakinkanku. Berkali-kali juga aku bantah perkataan ibu, saat itu aku benar-benar tidak percaya dengan omongan ibu, entah setan apa yang merasukiku hingga aku lebih mempercayai orang lain daripada ibuku sendiri. Setelah lelah berdebat, ku putuskan untuk tidur dan membahasnya keesokan hari.
Malam itu benar-benar malam yang panjang buat aku, berat sekali rasanya untuk memejamkan mata, meski rasa kantukku menyergapku. Keesokan harinya, kusambut pagi dengan wajah tak bersahabat. Pagi itu aku tak beraktifitas seperti biasa, selesai mandi aku nongkrong depan Tivi, pagi itu tak ada satu pun siaran televise yang menarik perhatianku. Ku dengar ibu sibuk memasak di dapur, aku yakin ibu membuatkan makanan kesukaanku, karena biasanya aku akan luluh, bila ibu sudah memasak makanan kesukaanku. Tapi kali ini tidak, karena menurutku kesalahan ibu tidak bisa ditolerir lagi. Jadi, aku harus tahan diri untuk tidak tergoda oleh masakan ibu. Tepat jam 09.00 WITA, ibu memanggilku untuk sarapan. Aku sama sekali tidak menggubrisnya, aku sedang tidak berselera makan masakan ibu. Rupanya ibu paham akan sikapku. Ibu dengan penuh kesabaran, pergi ke warung makan, membelikanku makanan untuk sarapan. Ada sedikit rasa iba dalam benakku melihat ibu memperlakukanku dengan kasih sayang, tapi aku enggan menunjukkan rasa ibaku itu. Untuk beberapa lama aku biarkan makanan itu tergeletak di meja makan.
Hari ke-tiga aku di rumah, namun belum menemukan jalan keluar untuk masalah ini. Padahal ibu telah bersumpah tidak pernah menjalin hubungan dengan orang itu, apalagi sampe punya planning buat menikah dengan orang itu. Akhirnya menemukan ide,”Kalau ibu tetap bersikeras bahwa ibu tidak bersalah dan tidak terjadi apa-apa pada diri ibu, bagaimana kalua ibu cek ke dokter?” kataku kepada ibu, dengan wajah berbinar,”Iya, Nak ibu mau melakukan apa saja asal hal itu bisa melepaskan tuduhanmu terhadap ibu”. Lalu ibu merundingkan lagi, dan akhirnya ibu memutuskan untuk chek kesehatan di rumah sakit pusat. Nak, inikan baru prediksi dukun, jadi belum tentu benar. Diagnosa Dokter aja sering salah, apalagi cuman seorang dukun. “ Kata ibu, berusaha meyakinkanku. Okey, besok juga Ibu pergi ke rumah sakit, agar semuanya menjadi jelas! Ucapku menyetujui renaca ibu. Keesokan harinya, kulihat ibu dengan semangat 45 pergi ke rumah sakit, tak sedikit pun di wajah ibu tergambar kesedihan. Ku akui ibu adalah orang yang tegar dalam menghadapi cobaan. Dan aku biarkan ibu pergi sendiri ke rumah sakit, karena waktu itu aku benar-benar masih kesal sama ibu.
Dua hari kemudian, aku belum mendapatkan informasi tentang ibu, akhirnya kuputuskan untuk menelfon ibu. Tapi orang lain yang angkat telfonku, dan katanya ibu sedang pingsan di rumah sakit. Aku sangat  menyesal dan merasa bersalah sama ibu, karena telah membiarkan ibu pergi sendiri di rumah sakit, seharusnya saat ini aku ada di samping ibu, karena ibu pasti membutuhkan aku dan hanya aku yang ibu punya, ada kerabat ibu, itupun kerabat jauh. Keesokan harinya, aku pergi ke rumah sakit, setelah Tanya petugas rumah sakit, akhirnya aku menemukan ruangan dimana ibu dirawat. Kulihat ibu terbaring sendirian dan terkulai lemas tak berdaya, wajahnya pucat seakan sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang dideritanya. Melihat kedatanganku, ibu berurai air mata. Ibu pasti tidak menyangka bahwa aku akan datang menjenguknya. Aku sudah tidak tahan untuk tidak meneteskan air mata, lalu aku menghambur ke pelukan ibu. Disela isak tangisku, aku meminta maaf sama ibu atas semua kekhilafan dan kesalahanku karena tidak mempercayainya dan aku telah menjadi anak durhaka kepada orang tua. ibu dengan senyum mengembang membelai rambutku dan memintaku untuk melupakan semua yang telah terjadi. Tak berapa lama berselang, masuklah seorang dokter untuk menanyakan keluarga pasien, dan aku diminta dokter untuk menemuinya di ruang kerjanya, dari hasil tes laboratorium diketahui ibu mengalami hormonal imbalance, dan harus dikiret untuk memastikan apakah ibu terkena kanker atau tidak, lalu aku menandatangani surat persetujuan operasi tersebut. Saat itu aku benar-benar tidak tahu apakah aku harus bahagia atau sedih. Aku merasa bahagia, karena ibuku ternyata tidak hamil disisi lain aku juga sedih karena ibu menderita enyakit dan harus dioperasi. Akupun tidak sabar untuk buru-buru menemui ibu, lalu aku ceritakan semua penjelasan dokter, kulihat ibu tersenyum dan mengucap syukur kepada Allah, karena  akhirnya ibu terbebas dari fitnah.
 Ternyata di balik setiap cobaan ada hikmah yang tersembunyi, jika bukan karena itu semua, kita tidak bakal tahu bahwa ibu sedang menderita penyakit dan bisa-bisa penyakit ibu bertambah parah, jika tidak lekas dioperasi. Alhamdulillah operasi ibu berjalan lancar dan  ibu sehat seperti sedia kala. Dan aku berjanji untuk tidak mudah termakan omongan orang. Dan berusaha untuk selalu percaya sama ibu.