Jumat, 15 Juni 2012

Pengakuan

Pengakuan

Kekasih………………
Kini hanya tinggal nama
Yang pantang di sebut orang
Yang kala datang membayang
Hanya menyisakan butiran perih
Ablusi atas semua kesalahan
Hanya tinggal sebuah harapan
Abetmu tak pernah berubah
Walau tlah beganti masa
Meski kau tak mengenal Ahimsa
Tapi kau tetap mengenal tuhanmu dengan caramu
MengingatNya setelah dunia mengabaikanmu
MenyebutNya setelah dunia memperdayaimu
MenghadapNya setelah kau lelah mengadapi dunia
Apa kau lupa dengan malam
Yang memperlihatkan kebesaran tuhan
Hingga hari kau sulap menjadi siang
Dan waktu hanya untuk urusan dunia

Kajian Drama

Nama                      : Andi Dewi Lestari 
NIM                       : A1D1 08 033
Alamat Sekarang     : Jl. H.E.A. Mokodompit, Lr. Perintis Asrama Putri Monjali
Alamat Rumah     : Roraya, kecamatan Tinanggea kabupaten Konsel
Lembaga     : Universitas Haluoleo
Telp/e_mail     :    085299813327/andi.dewilestari@yahoo.com


Nilai Moral Dan  Budaya Dalam Naskah Drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan Dilarang Kawin Karya Iwan Djibran
Abstrak

Alasan atau analisis yang saya tulis mengenai naskah drama yang berjudul Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan naskah drama Dilarang kawin karya Iwan Djibran, yakni untuk mengetahui isi kedua  drama tersebut, amanat apa yang ingin disampaikan pengarang melalui drama yang ditulis tersebut. Kemudian hubungannya dengan kehidupan sekarang apakah merupakan gambaran yang mungkin terjadi di massa sekarang. Nllai moral yang terkandung dalam dua naskah drama tersebut sangat mewakili apa yang juga terjadi pada kehidupan sekarang ini, sebagaimana dalam kedua naskah tersebut keegoisan menjadi hal utama penghalang suatu hubu gan yang baik dan suci, kepentingan diri sendiri sangatlah terlihat pada kedu naskah tersebut. Nilai budaya memiliki tempat tersendiri yang mana budaya itu penting bagi bangsa khususnya dalam                                                                 dunia sastra yang ada di Indonesia, contoahnya sastra lisan yang terdapat dalam naskah Bulan Muda yana Terbenam kraya La Ode Balawa.



Pendahuluan

Dilihat dari judulnya yaitu Bulan Muda yang Terbenam dapat pula diartikan atau arti yang terkandung dalam drama karya La Ode Balawa itu yakni kisah kemalangan yang mana bulan muda adalah bulan yang timbul pada saat di awal-awal munculnya bulan dan biasanya bulan muda itu sangat indah memancarkan cahayanya dan bisa dibayangkan bulan yang sangat indah menerangi malam itu akhirnya harus tenggalamd an membuat malam menjadi gelap gulita. Itulah gambaran awal mengenai isi drama yakni awal yang indah dikarenakan keindahan cinta yang berkahir dengan kematian yang artionya kegelapan.
Sastra umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Ini berarti bahwa bahasa yang dipakai sebagai sarana primer sastra adalah bahasa tulis. Teks sastra itu secara keseluruhan adalah sebuah tanda dengan semua cirinya: untuk pembaca, teks itu pengganti dari suatu yang lain, katakanlah suatu kenyataan yang dibayangkan dan bersifat fisksional. Tanda ini ada pengirimnya secara kasar adalah penulis. Karya sastra yang ditulis pengarangnya merupakan gambaran dari kenyataan yang mungkin terjadi di dunia nyata. Karya sastra ada yang berbentuk tulis dan ada pula yang lisan, misalnya puisi dan drama adalah karya sastra yang berbentuk tulisan dan karya sastra lisan, seperti hikayat atau cerita rakyat dari masing-masing daerah, kesemuanya itu adalah fiksi yang diperkirakan terjadi pula pada dunia nyata.
Karya sastra telah ada sejak berabad-abad. Berbagai macam karya sastra yang ada di dunia di antaranya karya sastra berbentuk drama. Drama adalah karya sastra yang ditulis pengarangnya. Ada dialog antar tokoh yang dipentaskan di atas panggung dan sifatnya menghibur dan memiliki nilai seni yang indah. Drama dapat dinikmati orang di kalangan apapun, biasanya cerita dalam drama itu bermacam-macam, ada yang bertemakan tentang cinta, kesedihan, kerajaan dan drama yang berasal atau diangkat oleh penulis melalui cerita rakyat yang ada di daerah tertentu. Drama memiliki kekhasan yang unik, biasanya ceritanya mewakili kejadian yang mungkin terjadi di masyarakat.
Berbagai jenis drama mewarnai khazanah karya sastra di Indonesia khususnya, misalnay drama tentang cinta yang sangat banyak kita dapatkan pada karya-karya penyair Indonesia, selain itu, salah satu jenis drama yang mengangkat cerita rakyat juga banyak terdapat diberbagai wilayah. Misalnya saja drama tentang Jaka Tarub yang diangkat dalam cerita rakyat daerah Jawa, begitu pula salah satu naskah drama yang diangkat melalui cerita rakyat Buton yang berjudul Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa, dan masih banyak lagi karya sastra berbentuk drama  yang mengangkat cerita rakyat dari daerah Sulawesi Tenggara. Serta nilai moral yang terdapat dalam naskah drama itu sangat membangun inspirasi dan bahan perkembangan bagi penikmat karya sastra terutama karya sastra berbentuk drama.

Pembahasan

Drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa ini mengisahkan tentang kisah dua insan manusia yang menjalin hubungan asmara, tetapi hubungan mereka dikekang oleh orang tua wanitanya, karena orang tua si wanita itu sudah menjodohkannya dengan laki-laki pilihan ayahnya. Drama yang diangkat melalui cerita rakyat dari daerah buton, Sulawesi Tenggara adalah contoh betapa kita tidak bisa memilih sendiri pendamping hidup sendiri yang kita anggap baik atau pantas untuk bersama mengarungi hidup, melainkan seakan-akan jodoh dari seorang anak ditentukan oleh orang tua masing-masing. Dalam drama ini tema yang terdapat  ialah kekuatan cinta,  pengarang mencoba mengisahkan kisah cinta dua insan manusia yang begitu kuat bahkan kematian pun tak menjadi halangan bagi mreka untuk tetap menjalani hubungan yang mereka akui adalah suci. Pengarang juga menceritakan  betapa orang yang miskin atau orang yang dari kalangan bawah dilarang mencintai orang dari kalangan atas atau anak raja, karena perbedaan derajat itu cinta harus mengalah meskipun pada kenyataannya dalam cerpen ini terjadi pemberontakan atas nama cinta yang dilakukan tokoh La Domai dan tokoh Wani, karena cinta mereka tidak direstui oleh orang tua Wani, maka mereka mengambil keputusan untuk kabur bersama, dan sumpah untuk sehidup semati mereka jalani. Pemberontakan mereka berujung kematian, karena ayah Wani menyuruh kakak Wani yaitu La Ngkaliti untuk membunuh anaknya sendiri dan kekasihnya karena telah berani melawan kemauannya. Dengan terpaksa pun La Ngkaliti sebagai kakak Wani membunuh La Domai, kekasih Wani, dan Wani pun bunuh diri karena mengetahui kekasihnya telah mati, pengarang mencoba menggabarkan betapa dahsyatnya kekuatan sumpah yang diucapkan tokoh Wani, yang mengatakan hanya mautlah yang dapat memisahkan mereka berdua, di sini terdapat kritik yang positif bagi kehidupan. Jika dihubungkan dengan kehidupan di masa sekarang, di mana di zaman dulu kesakralan sumpah yang diucapkan oleh seseorang itu harus dipegang teguh kekuatannya karena sumpah itu adalah janji kepada sang Pencipta dan alam sebagai saksinya.
Jika melanggar sumpah adalah hal yang sangat memalukan, dalam drama tersebut mengisahkan hampir tidak ada manusia pada masa itu yang melanggar sumpahnya. Jika dibandingkan di masa sekarang sumpah tidaklah begitu sakral atau suci, karena keyakinan yang sudah mulai pudar  tentang arti sumpah yang sebenarnya. Sangat banyak kita dapatkan di masa sekarang janji seakan tak berarti apa-apa lagi. Janji hanya sekedar janji belaka, kritik dalam drama ini bila diumpamakan pejabat-pejabat kenegaraan yang sebelum menjadi pejabat berbagai janji dari mulut mereka keluar dengan begitu saja tetap kenyataannya setelah menjadi pejabat kenegaraan yang sesuai dia inginkan janjinya itu pun terlupakan begitu saja entah karena jabatan yang didapatkan membuatnya terlena hingga melupakan janji-janji  yang pernah diucapkan. Di sini sangat terlihat perbedaan yang ingin dikemukakan pengarang jika melihat dari sudut pandang tentang sumpah. Sumpah bahkan tak memiliki arti apa-apa lagi pada masa sekarang, sumpah bagaikan sesuatu ucapan biasa-biasa saja yang ingin diucapkan seseorang untuk meyakinkan. Namun mengeluarkan kata-kata sumpah maupun janji itu tidak sama sekali meyakini makna sumpah yang sebenarnya, seharusnya janji ataupun sumpah yang pernah diucapkan itu ditepati sebagaimana dalam drama ini. Tokoh Wani bersumpah kepada La Domai kekasihnya dan sumpahnya itu pun ditepatinya meski harus mengorbankan nyawanya karena sumpah setianya itu.
Selain perbandingan dari pengarang mengenai nilai sumpah pada zaman kerajaan di Buton dan nilai sumpah pada zaman sekarang, kisah cinta yang berakhir dengan perpisahan yang berujung kematian juga dikisahkan dalam kisah cinta Romeo dan Juliet. Cinta yang begitu kuat, dan janji sehidup semati meskipun pada akhirnya cinta yang mereka pertahankan berujung dengan kematian. Cinta mereka tidak berakhir dengan bahagia, melainkan berakhir dengan tragis dan menyedihkan.  Seperti itu pulalah pengarang mencoba mengisahkan dan menyajikan drama Bulan Muad yang Terbenam, namun dalam drama ini ceritanya diangkat melalui cerita rakyat dari daerah Buton. Sedangkan Romeo dan Juliet adalah kisah yang berasal dari luar negeri. Romantisisme yang digambarkan pengarang dalam drama Bulan Muda yang Terbenam juga sangat mewarnai drama ini. Di mana keegoisan untuk sesuatu hal sangat ditonjolkan. Romantisisme memang terkesan melebih-lebihkan pada kedua drama tersebut, karena pada kenyataannya sangat jarang terdapat sepasang kekasih yang rela mati mempertahankan cintanya di masa sekarang ini. Walaupun itu ada mungkin salah satu pihak yang mengakhiri hidupnya karena perasaan ingin memiliki yang tidak memakai logika dan akal sehat, misalnya seseorang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena orang yang dicintainya berkhianat dan pergi meninggalkannya bukan karena kesetiaan dari keduabelah pihak yang saling mencintai, seperti yang digambarkan pengarang dalam naskah Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa tersebut. Keegoisan salah satu pihak yang tidak memikirkan kehidupan orang lain, pengarang mencoba menggambarkan bagaimana keegoisan itu adalah hal yang seharusnya tidak terjadi, menjadi mutlak terjadi meskipun kepedihan dan kesedihan menjadi akhir dari semua akibat keegoisan asalah satu pihak.
Berbagai sudut pandang pengarang mewarnai naskah drama karya La Ode Balawa ini, dari sudut pandang kelestarian sastra yang ada di  masing-masing daerah yang ada di Indonesia khususnya sastra lisan yang keberadaannya hampir punah, bahkan mungkin sebagian sastra lisan yang ada di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara sudah ada punah karena  kurangnya kemauan untuk meneruskan sastra lisan dari daerah masing-masing. Di sini pengarang mencoba memperkenalkan sastra lisan berbentuk mantra, yang ada di daerah Buton yang merupakan warisan nenek moyang daerah itu. Dalam naskah, tokoh Amangkali, ayah Wani sewaktu adegan pertemuan dengan keluarga dan pejabat kerajaan pembacaan mantra dari daerah Buton itu dilakukan pada saat pembukaan pertemuan dalam kerajaan itu, yang pada masa itu, mantra tersebut  berguna sebagai do’a bagi mereka yang mempercayainya dan juga sebagai tolak bala agar bencana tidak menghampiri wilayahnya, khususnya lingkungan kerajaan Mata Sangia yang berada di daerah Buton tersebut. Melalui mantra itu pengarang sangat jelas mempunyai motivasi untuk melestarikan sastra lisan yang ada di Buton melalui drama Bulan Muda yang Terbenam. Mengingat sastra lisan sudah mulai punah, pengarang melestarikannya dalam naskah drama yang nantinya baik pembaca maupun penonton drama tersebut mengetahui budaya leluhur yang ada di daerah Buton maupun daerah manapun harus dijaga kelestariannya meskipun globalisasi semakin deras mengalir di Indonesia.
Bila dibandingkan dengan naskah drama yang berjudul Dilarang  Kawin (Iwan Djibran) juga memiliki kesamaan, yang mana dalam naskah Bulan Muda yang Terbenam tokoh Wani yang begitu mencintai tokoh La Domai tidak direstui oleh orang tuanya yakni Amangkali, karena tidak sederajat. Dan dalam naskah Dilarang Kawin tokoh Susi Hong yang merupakan anak keturunan Cina yang menjalin hubungan dengan tokoh Drajat juga tidak mendapat restu dari orang tua keduanya. Perbedaan pada naskah Dilarang Kawin mengenai status kewarganegaraan yang menjadi masalah. Sedangan dalam naskah drama Bulan Muda konfliknya pada status derajat  sosial yang berbeda yang mana tokoh Wani dari keluarga raja sedangkan tokoh La Domai berasal dari keluarga yang sederhana atau bukan keturunan Ningrat.
Melihat apa yang diceritakan pengarang dalam drama Dilarang Kawin, naskah tersebut menceritakan bagaimana pasangan yang saling mencintai memiliki perbedaan kewarganegaraan yang mana tokoh Susi Hong adalah berasal dari negara Cina sedangkan Drajat dari Indonesia. Namun Susi Hong bertempat tinggal di Indonesia dan dia tidak perduli dengan status kewarganegaraan itu. Bagi tokoh Susi Hong perbedaan kewarganegaraan tidak bisa menghalangi untuk mencintai dan dicintai oleh tokoh Drajat. Begitu pula tokoh Drajat. Ia juga tidak memperdulikan perbedaan status kewarganegaraan itu. Dalam naskah ini kedua orang tua dari kedua belah pihak sama-sama tidak  menyetujui jika mereka berdua menikah, yang mana menurut orang tua Susi Hong orang  pribumi atau orang Indonesia itu tidak pantas dengan orang Cina, begitu pula ayah Drajat yang tidak mau mempunyai menantu  yang berkewarganegaraan Cina itu. Bagi ayah Drajat, Susi Hong yang merupakan warga negara Cina itu hanyalah parasit dan hanya benalu bagi bangsa. Drajat telah dijodohkan dengan tokoh Dewi yang berkewarganegaraan Indonesia namun Drajat tidak menyukai Dewi dia hanya mencintai Susi Hong. Namun meskipun mereka bersikeras untuk mempertahankan hubungan mereka, tetap saja pada akhirnya mereka berdua tidak bisa bersatu.
Dalam drama Dilarang kawin juga memiliki nilai moral, sma dengan naskah Bulan Muda Yang Terbenam. Nilai moral yang ada dalam naskah Dilarang Kawin yang ingin disampaikan pengarang kemungkinan mengenai konflik antar negara yang hingga saat ini masih banyak terjadi, seharusnya kedamaian antara negara itu harus tercipta, perbedaan kewarganegaraan antara tokoh Drajat dan Susi Hong membuat cinta yang mereka rajut terhalang. Di sini dapat dilihat berdasarkan sudut pandang pengarang yang mencoba menimbulkan perasaan cinta, kasih sayang dan saling menyayangi dengan tulus, gambaran dari beberapa indahnya jika dua negara yang memiliki perbedaan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya bersatu dan menjalin hubungan antar negara yang baik hingga tercapailah perdamaian antara negara. Pengarang juga mencoba melihat sudut pandang betapa perbedaan yang begitu kuat dapat membuat suatu hal yang indah bila bersama menjadi hancur  dan tidak bisa bersatu. Ini gambaran yang ingin disampaikan pengarang dalam naskah Dilarang Kawin yang mana perbedaan status warga negara akhirnya membuat dua orang yang saling mencintai tidak bisa bersatu. Pengarang mencoba menggambarkan kekuatan cinta pun tak bisa menyatukan dua keluarga apalagi untuk menyatukan dua negara yang pemerintahannya begitu besar. Pengarang memunculkan bagaimana perselisihan antar negara itu masih terjadi. Melihat kenyataan banyak negara tidak mau berdamai dengan negara tertentu. Perselisihan terus terjadi sejak zaman penjajahan hingga sekarang masih ada saja negara yang tidak bisa berdamai dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin melainkan angkat senjata dan kematian seakan itulah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Ini terlihat drama ini larangan keras dari orang tua Drajat maupun orang tua Susi Hong melarang keras mereka untuk bersatu. Cinta yang mereka rajut merupakan gambaran hal yang indah jika mereka bersatu dan menjadi sepasang suami istri. Namun karena ke tangan orang tua mereka pun tak bisa bersatu. Begitu pula gambaran negara yang saling berselisih, meskipun pada dasarnya kedua negara yang berselisih itu mencintai perdamaian. Tetapi karena keegoisan mempertahankan pendapat masing-masing kerinduan akan kedamaian yang mereka rasakan tidak mengalahkan keegoisan mereka  tidak bisa berdamai.
Kejadian yang sama pada naskah drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa, yang intinya juga dilarang kawin oleh ayahnya meskipun pada drama ini bukan atas dasar perbedaan kewarganegaraan antara tokoh Wani dan tokoh La Domai melainkan karena Wani adalah putri orang ternama pada masa itu sedangkan La Domai adalah keturunan rakyat biasa. Namun pada dasarnya kedua naskah tersebut yang menjadi penghalang sebuah hubungan adalah status sosialnya yang menurut mereka tidak pantas jika bersatu dalam suatu hubungan apalagi ikatan pernikahan. Pengarang naskah Bulan Muda yang Terbenam mencoba melihat dari sudut perbedaan status sosial yang berbeda itu, banyak menjadi pengahalang bagi suatu hubungan dalam kehidupan nyata. Banyak sekali kita jumpai misalnya saja orang yang status sosialnya berada di bawah selalu tidak disetujui oleh orang tuanya maupun pihak keluargabta, bukan hanya hubungan cinta saja melainkan hubungan pertemanan juga dalam kenyataan banyak orang yang status sosialnya berada di bawah.
Dalam naskah drama Bulan Muda yang terbenam pengarang juga menceritakan bahwa keegoisan sepihak hendaknya jangan terjadi, dengan mementingkan diri sendiri tidak akan berdampak baik bagi kehidupan ataupun bagi lingkungan. Justru yang terjadi adalah kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika di lihat dari sisi budayanya, dalam naskah Bulan Muda Yang Terbenam, dan dalam naskah dilarang kawin, memiliki nilai budya yang ingin disajikan pengarang masing-masing dalam naskah tersebut. Dalam naskah Bulan Muda yang Terbenam memiliki nilai budaya yakni sastra lisan yang dibaca tokoh Amangkali pda saat mengadakan pertemuan kelurga, pengarang mencoba menampilkan bagaimana sastra lisan yang ada di daerah Buton. Dalam naskah Dilarang Kawin juga memiliki nilai budaya yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca atau penikmat drama, dapat dilihat dari tokoh ayah derajat yang merupakan keturunan kewarganegaraan yang tidak setuju jika anaknya menikah dengan orang keturunan Cina, kemungkinan dalam pikiran pengarang jika tokoh derajat dan tokoh Susihong menikah maka akan terjadi percampuran budaya antara budaya Indonesia dengan budaya Cina, ada dua kemungkinan yang akan terjadi jika dua budaya itu menyatu, yang pertama ialah semakin kayanya atau berrfariasinya percampuran dua budaya, ataukah semakin lemahnya budaya Indonesia jika diatukan dengan budya Cina. Pada kemungkinan pertama akan berdampak baik bagi kedua budya tersebut, karena semakin kaya dan berkembangnya dua budaya yang berbeda dalam satu ikatan atau hubungan. Sedangkan kemungkinan kedua justru budaya Indonesia akan semakin melemah jika disatuakn dengan budaya lain.

Kesimpulan
Drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa memiliki banyak kekhasan mengenai isi cerita. Dalam drama ini, kisah cinta yang berakhir dengan kematian, kekuatan, dan kesakralan sebuah janji atau sumpah pada zaman dahulu dan zaman sekarang serta nilai budaya  berbentuk sastra lisan dari daerah Buton yang diangkat pengarang sebagai wujud kecintaan karya sastra di daerahnya dengan cara mencantumkan dalam naskah dramanya. Agar sastra lisan yang ada tidak mengalami kepunahan. Bulan Muda yang Terbenam  merupakan drama yang diangkat  dari cerita rakyat daerah Buton yang menggambarkan kisah kehidupan pada zaman kerajaan di Buton.
Begitu pula dalam naskah drama di larang kawin keegoisan salah satu pihak yang mementingkan diri sendiri dan tidak memikirkan keadaan orang lain sehingga orang lain menjadi menderita karena tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya.

Daftar Pustaka

Djibran, Iwan. 2005. Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.
Hidayat, ahid. 2009. Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda, Sejumlah telaah. Kendari: FKIP Unhalu.
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra, cetakan kedua. Makassar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Makassar (UNEM).




 A. Dewi Lestari dilahirkan di Lapoa, 09 Juni 1990, semasa kecilnya dia habiskan di desa Talutu Jaya, Kecamatan Tinanggea dan di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Setelah tamat di SDN 2 Lapoa Baru (tamat 2002), kemudian melanjutkan sekolah di MTsN Lapoa (tamat 2005), tamat di MTsN ia melanjutkan sekolah  di SMAN 1 Tinanggea, Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Meneruskan kuliah di perguruan tinggi, Universitas Haluoleo di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Seni, mengikuti berbagai organisasi yakni Laskar Sastra, HMPS, dan LSIP.

Sabtu, 09 Juni 2012


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)




   A. STANDAR KOMPETENSI
       Menulis: menggungkapkan pikiran, pendapat, dan informasi dalam penulisan karangan berpola     deduktif    dan induktif.

   B. KOMPETENSI DASAR
Menulis karangan berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan deduktif dan induktif

  C.  INDIKATOR
    1.Kognitif
      a) proses
        (1) Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
        (2) Menemukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
        (3) Menemukan paragraf induktif dan deduktif

     b) Produk
        (1) Menentukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
        (2) Menentukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
        (3) Menentukan paragraf induktif dan deduktif

    2. Psikomotor
        Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif

    3.Afektif
       a. Karakter: tanggung jawab, kritis, dan disiplin
       b. Keterampilan sosial
       c. Berbahasa santun dan komunikatif
       d. Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok
       e. Membantu teman yang mengalami kesulitan

    D. TUJUAN PEMBELAJARAN

        1. Kognitif
            a.Proses
               Setelah membaca dan memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan               membaca   nyaring, siswa secara berkelompok diharapkan dapat
             1.Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
             2.Menemukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
             3.Menemukan paragraf induktif dan deduktif

         b. Produk
             Setelah menemukan hasil pencapaian tujuan proses di atas, siswa secara berkelompok diharapkan   dapat
          1.Menentukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
         2.Menentukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
         3.Menentukan paragraf induktif dan deduktif

   2.  Psikomotor
        Setelah menentukan dan memahami hasil pencapaian tujuan produk di atas, siswa secara mandiri diharapkan dapat menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif

    3. Afektif
       a.Karakter
          Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan dalam berperilaku yang   meliputi sikap tanggung jawab, kritis, disiplin
      b.Keterampilan sosial
         Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan kecakapan sosial yang meliputi
        1)Berbahasa santun dan komunikatif
        2)Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok
        3)Membantu teman yang mengalami kesulitan

E.  MATERI PEMBELAJARAN
     1.Paragraf yang berpola deduktif dan induktif
     2.Kalimat utama dan kalimat penjelas
     3. Perbedaan deduktif dan induktif

 F.MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN
    Pendekatan: Pembelajaran Kontekstual
    Model Pembelajaran: Kooperatif Tipe STAD
    Metode: tanya jawab, pemodelan, penugasan, dan unjuk kerja

G. BAHAN DAN MEDIA
    Wacana tulis (artikel)
    LKS
    Kertas HVS
    ALAT
    Spidol
    Format evaluasi
    Pedoman penilaian dan penskoran

H. SKENARIO PEMBELAJARAN


No.KegiatanPenilaian Pengamat
1

2

3

4
A1Kegiatan Awal (15):
Tahap 1 (5 menit): Pemancingan dengan mula-mula menanyakan kesiapan belajar siswa, lalu menanyakan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang paragraf.
Tahap 2 (10 menit): Pengarahan dengan mula-mula bertanya jawab tentang jenis-jenis paragraf  berdasarkan letak kalimat utamanya, kemudian diakhiri dengan penegasan guru tentang tujuan pembelajaran yang harus dicapai dalam proses pembelajaran pada pertemuan itu.





B1Kegiatan Inti (55 menit):(55 menit): guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, kemudian memberikan pemahaman kepada siswa mengenai paragraf deduktif dan induktif, serta perbedaan antara kalimat utama dan kalimat penjelas        





C1
Kegiatan Akhir (10 menit)
    Siswa bersama guru merumuskan kesimpulan umum atas semua butir pembelajaran yang telah dilaksanakan;
    Siswa  diminta menyampaikan kesan dan saran (jika ada) terhadap proses pembelajaran yang baru selesai mereka ikuti;
    Guru menugaskan siswa untuk mencari artikel di media masa yang akan mereka identifikasi paragraf deduktif dan induktif  





    

 I. SUMBER PEMBELAJARAN
    Wacana tulis
    Materi Essensial MGMP Sekolah
    Lembar Pegangan Guru
    LKS 1 ; LKS 2
    LP 1 ; LP 2
    Silabus

 J. EVALUASI DAN PENILAIAN
    1. Evaluasi
    Evaluasi Proses: dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas peserta  (siswa) dalam menggarap tugas, diskusi, kegiatan tanya jawab, dan dialog informal.
    Evaluasi Hasil: dilakukan berdasarkan analisis hasil pengerjaan tugas dan pengerjaan tes, dan pengamatan unjuk keterampilan (performance)

     2. Penilaian
        a.Jenis Tagihan Penilaian: LKS 1 dan LP 1, LKS 2 dan LP 2, , LP 4, LP 5, tugas individu menggunakan LKS 3 ; LP 3
        b.Bentuk Instrumen Penilaian: uraian bebas, jawaban singkat, dan pilihan ganda



Satuan Pendidikan       : SMA
Mata Pelajaran            :  Bahasa Indonesia
Kelas/Semester           : XI/I
Standar Kompetensi    : Membaca
Kompetensi Dasar      : Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan           membaca intensif

LEMBAR PEGANGAN GURU
 (LPG)


1.Pengertian Paragraf
               Paragraf (dari bahasa Yunani paragraphos, “menulis di samping” atau “tertulis di samping“) adalah Unit terkecil sebuah karangan yang terdiri dari kalimat pokok atau gagasan utama dan kalimat penjelas atau gagasan penjelas. Paragraf dikenal juga dengan nama lain alinea. Paragraf dibuat dengan membuat kata pertama pada baris pertama masuk ke dalam (geser ke sebelah kanan) beberapa ketukan atau spasi.
Syarat sebuah paragraf di setiap paragraf harus memuat dua bagian penting, yakni :
    Kalimat utama
Biasanya diletakkan pada awal paragraf, tetapi bisa juga diletakkan pada bagian tengah maupun akhir paragraf. Kalimat pokok adalah kalimat yang inti dari ide atau gagasan dari sebuah paragraf. Biasanya berisi suatu pernyataan yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut oleh kalimat lainnya dalam bentuk kalimat penjelas.
    Kalimat Penjelas
Kalimat penjelas adalah kalimat yang memberikan penjelasan tambahan atau detail rincian dari kalimat pokok suatu paragraf.

2. Jenis Paragraf Berdasarkan Letak Kalimat Utama
Letak kalimat utama juga turut menentukan jenis paragraf. Penjenisan paragraf berdasarkan letak kalimat utama ini terbagi atas 4 yakni :
    Paragraf Deduktif
Paragraf dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat utama. Kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat penjelas yang berfungsi menjelaskan kalimat utama. Paragraf ini biasanya dikembangkan dengan metode berpikir deduktif, dari yang umum ke yang khusus.

Dengan cara menempatkan gagasan pokok pada awal paragraf, ini akan memungkinkan gagasan pokok tersebut mendapatkan penekanan yang wajar. Paragraf semacam ini biasa disebut dengan paragraf deduktif, yaitu kalimat utama terletak di awal paragraf.

    Paragraf Induktif
Paragraf ini dimulai dengan mengemukakan penjelasan-penjelasan atau perincian-perincian, kemudian ditutup dengan kalimat utama. Paragraf ini dikembangkan dengan metode berpikir induktif, dari hal-hal yang khusus ke hal yang umum.
    Paragraf Campuran (Deduktif-Induktif)
Pada paragraf ini kalimat topik ditempatkan pada bagian awal dan akhir paragraf. Dalam hal ini kalimat terakhir berisi pengulangan dan penegasan kalimat pertama. Pengulangan ini dimaksudkan untuk lebih mempertegas ide pokok. Jadi pada dasarnya paragraf campuran ini tetap memiliki satu pikiran utama, bukan dua.
    Paragraf Tersebar
Paragraf ini tidak mempunyai kalimat utama, berarti pikiran utama tersebar di seluruh kalimat yang membangun paragraf tersebut. Bentuk ini biasa digunakan dalam karangan berbentuk narasi atau deskripsi.



DAFTAR PUSTAKA
Irawan, yudi (dkk). 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan


               
K. LEMBAR PENILAIAN


LP 1 : KOGNITIF PROSES
Pedoman Penskoran LKS 1

No.Komponen
 Deskriptor           
SkorBobotSkor X Bobot  Catatan
1. Menemukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf  a.Dapat menemukan kalimat utama  dan kalimat penjelas pada semua paragraf
b.Hanya dapat menemukan kalimat utama  dan  kalimat penjelas pada beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat menemukan  kalimat utama dan kalimat penjelas dalam paragraf.  
Menemukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf  a.Dapat menemukan kalimat utama  dan kalimat penjelas pada semua paragraf
b.Hanya dapat menemukan kalimat utama  dan  kalimat penjelas pada beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat menemukan  kalimat utama dan kalimat penjelas dalam paragraf.  
Menemukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf 
            
Catatan :  0 = Sangat kurang  1  = kurang   2 = baik 
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100
              
LP 2 : KOGNITIF PRODUK
Pedoman Penskoran LKS 2



No.

Komponen

Deskriptor
 Skor
Bobot

Skor x Bobot

Catatan
1.Menentukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf   Dapat menentukan kalimat utama  dan kalimat penjelas pada semua paragraf
b.Hanya dapat menentukan kalimat utama  dan  kalimat penjelas pada beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat menentukan  kalimat utama dan kalimat penjelas dalam paragraf.  
              3

2

0
 5









2.Menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  a.Dapat menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada semua paragraf
b.Hanya dapat menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat menentukan  paragraf yang berpola deduktif dan induktif  pada semua p
             
3

2

0
 5
Catatan :  0 = Sangat kurang  2  = kurang   3 = baik 
Cara Pemberian Nilai
Rumus :
nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100
 


LP 3 = Psikomotor
Pedoman Penskoran LKS 3



No.KomponenDeskriptorSkorBobotSkor X BobotCatatan
1.Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktifa.Dapat menjelaskan dengan sangat jelas dengan bahasa yang efektif dan santun.
b.Dapat menjelaskan, namun dengan terbata-bata.
c.Tidak dapat menjelaskan apa-apa.  
 3

2

0
 5


             Catatan :  0 = Sangat kurang 2 = cukup baik  3 = baik 
Cara Pemberian Nilai
Rumus :

nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100





Format Pengamatan Perilaku Berkarakter





No.

Rincian tugas kinerja
  Memerlukan perbaikan
(D)
Menunjukkan kemajuan (C)  
Memuaskan (B)

Sangat baik (A)
1.Tanggung jawab



2.Kritis



3.Disiplin




              


Hari/Tanggal :

Guru/Pengamat


(…………………..)




LP 5 = Afektif : Perilaku Keterampilan Sosial

Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik            B = memuaskan
C = Cukup baik            D = kurang baik




No.
Rincian tugas kinerja  

Memerlukan perbaikan

Menunjukkan kemajuan(C)   

  Memuaskan(B)   



Sangat baik(A)
1.
Berbahasa santun dan komunikatif  




2.Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok              



3.Membantu  teman yang kesulitan              







Hari/Tanggal :

Guru/Pengamat


(…………………..)




L. MEDIA PEMBELAJARAN
Bacalah Kutipan Artikel Berikut!
Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika mengenai permukaan bumi, energi berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagi radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi. Akibatnya panas akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata  tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsenterasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala mahkluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15˚C (59˚F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33˚C (59˚F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18˚C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi). Akibatnya jumlah gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
Kenaikan suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan.misalnya naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan
Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perbedaan politik dan publik di dunia mengenai tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut. Sebagian besar Negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca

                                                                                                                Kendari,  Desember 2011
Guru Pamong                                                                                            Mahasiswa KKP        
                                                     
HARLINA, S.Pd                                                                                       A R I S
NIP  197605292007012012                                                                  A1D1 07 105




Mengetahui,
Kepala SMA Kartika VII-2 Kendari


Drs. H. NP. DAHLAN

Anakes

Analisis Kesalahan Berbahasa Aspek Pemakaian Huruf Kapital


A.    Kata Pengantar
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2002). Fungsi media massa menurut Karling ada 6 yaitu : fungsi Informasi, fungsi mendidik, fungsi mempengaruhi, Fungsi perkembangan mental, fungsi adaptasi lingkungan, dan fungsi memanipulasi lingkungan. Mengingat begitu pentingnya fungsi media massa, khusunya koran maka penulisan berita pada media massa/koran harus memperhatikan kaidah yang berlaku. Akan tetapi, melihat kenyataan yang ada, tidak jarang kita menemukan kesalahan penulisan pada koran. Oleh Karena itu penulis tertarik untuk menganalisis kesalahan berbahasa aspek pemakaian huruf kapital pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010.
Tujuan analisis kesalahan berbahasa aspek pemakaian huruf kapital yaitu untuk mengetahui kesalahan pemakaian huruf kapital pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010 dan untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemakaian huruf kapital. Yang menjadi dasar dalam analisis pemakaian huruf kapital yaitu EYD. Berdasarkan buku EYD dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, maka ada beberapa aturan dalam pemakaian huruf kapital yaitu sebagai berikut:
a.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
b.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
c.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
d.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
e.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
f.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
g.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
h.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
i.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
j.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata dan. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan  nama resmi  negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
k.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
l.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termsuk semua unsure kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
m.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
n.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan. Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan.
o.    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti anda.

B.    Langkah-langkah Analisis Kesalahan Berbahasa Aspek Pemakaian Huruf Kapital

1.    sampel kesalahan

Pada Koran Kendari Pos, edisi: Rabu, 04 Januari 2012 ditemukan beberapa sampel kesalahan pemakaian huruf kapital yaitu sebagai berikut:

a.    salah satunya, meninjau tambak yang mengalami kerusakan akibat banjir di desa Banggina Kabupaten      Konawe Utara dan desa lainnya yang ada di Kabupaten Konawe.
b.    Camat dan Kades
c.    JAKARTA masuk dalam daftar 15 kota termacet di dunia.
d.    lembaga riset pemasaran
e.    adanya Negara
f.    pantai Lanowulu
g.    mahkamah konstitusi
h.    Permintaan Rektor sepertinya diindahkan oleh para mahasiswa senior.
i.    Bahkan saat ini kata gubernur, Inspektorat daerah tengah melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap Desa, Kelurahan dan Kecamatan.
j.    Sedangkan pasangan calon Bupati ini menyalurkan suaranya di wilayah berbeda.

2.    Identifikasi Kesalahan
Identifikasi   kesalahan pemakaian huruf kapital pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010 yaitu sebagai berikut:
a.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat. Kesalahan tersebut yaitu pada kalimat “salah satunya, meninjau tambak yang mengalami kerusakan akibat banjir di desa Banggina Kabupaten Konawe Utara dan desa lainnya yang ada di Kabupaten Konawe”.  Dan terdapat juga pada kalimat ” JAKARTA masuk dalam daftar 15 kota termacet di dunia”.

b.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
c.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.

d.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.

e.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, terdapat kesalahan pada huruf kapital  yang tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat. Kesalahan tersebut antara lain pada kata: “Camat dan Kades”. Dan juga pada kalimat, “Permintaan Rektor sepertinya diindahkan oleh para mahasiswa senior dan kalimat, “Sedangkan pasangan calon Bupati ini menyalurkan suaranya di wilayah berbeda.

f.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.

g.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.

h.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama nama tahun,bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.

i.    Pada  Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, terdapat kesalahan pada huruf kapital yang  dipakai sebagai huruf pertama nama geografi. Kesalahan tersebut yaitu pada kata “pantai Lanowulu”. Terdapat juga kesalahan pada huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri. Kesalahan tersebut yaitu pada kata ”adanya Negara” dan juga pada kalimat ”Bahkan saat ini kata gubernur, Inspektorat daerah tengah melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap Desa, Kelurahan dan Kecamatan”.

j.    Pada  Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata dan. Kesalahan tersebut yaitu pada kata mahkamah konstitusi (MK) dan kata lembaga riset pemasaran MARS.

k.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.

l.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsure kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.

m.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.

n.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan. Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan.

o.    Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, tidak terdapat kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama kata ganti anda.


3. Peringkat Kesalahan
Berdasarkan identifikasi kesalahan pemakaian huruf kapital yang terdapat pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, maka peringkat  pertama terdapat pada kesalahan huruf kapital  yang tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat, dengan jumlah  tiga kesalahan. Peringkat kedua terdapat pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat; huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri; dan huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata dan, masing-masing terdiri dari dua kesalahan.
Peringkat ketiga terdapat pada kesalahan  huruf kapital yang  dipakai sebagai huruf pertama nama geografi dengan jumlah satu kesalahan. Dan peringkat terakhir terdapat pada kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang, kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama nama tahun,bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan;  kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan. Huruf kapital tidak dipakai sebagi huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan; kesalahan pada huruf kapital yang dipakai sebagai huruf pertama kata ganti anda. Dan masing-masing tidak terdapat kesalahan.

4.    Penjelasan Kesalahan
Pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010 ditemukan beberapa kesalahan pemakaian huruf kapital yaitu sebagai berikut:

a.    salah satunya, meninjau tambak yang mengalami kerusakan akibat banjir di desa Banggina Kabupaten Konawe Utara dan desa lainnya yang ada di Kabupaten Konawe. Pada kalimat tersebut terdapat kesalahan penulisan pada kata salah, karena kata tersebut terletak di awal kalimat kalimat sehingga harus menggunakan huruf kapital/huruf besar, karena berdasarkan EYD huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.

b.    Camat dan Kades, seharusnya pada huruf pertama kata camat dan kades tidak menggunakan huruf kapital, karena huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat.

c.    JAKARTA masuk dalam daftar 15 kota termacet di dunia, pada kalimat tersebut terdapat kesalahan pada kata JAKARTA, seharusnya penulisannya tidak menggunakan huruf kapital semua karena huruf kapital  dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.


d.    lembaga riset pemasaran, seharusnya penulisannya menggunakan huruf kapital pada huruf pertama setiap unsurnya, karena huruf kapital  dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata dan.

e.    adanya Negara, seharusnya penulisan kata Negara tidak menggunakan huruf kapital, karena huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri.


f.    pantai Lanowulu, seharusnya penulisannya menggunakan huruf kapital pada huruf pertama setiap unsurnya, karena  huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.

g.    mahkamah konstitusi,  seharusnya penulisannya menggunakan huruf kapital pada huruf pertama setiap unsurnya, karena  huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata dan.


h.    Permintaan Rektor sepertinya diindahkan oleh para mahasiswa senior. Pada kalimat tersebut terdapat kesalahan penulisan pada kata Rektor , seharusnya pada huruf pertama kata Rektor tidak menggunakan huruf kapital, karena huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat.

i.    Bahkan saat ini kata gubernur, Inspektorat daerah tengah melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap Desa, Kelurahan dan Kecamatan. Pada kalimat tersebut terdapat kesalahan pada kata Desa, Kelurahan dan Kecamatan, seharusnya penulisannya tidak menggunakan huruf kapital pada huruf pertama kata tersebut, karena huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri


j.    Sedangkan pasangan calon Bupati ini menyalurkan suaranya di wilayah berbeda. Pada kalimat tersebut terdapat kesalahan penulisan pada kata Bupati, seharusnya pada huruf pertama kata Bupati tidak menggunakan huruf kapital, karena huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat.

5.    Evaluasi Kesalahan
Berdasarkan buku EYD dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, maka perbaikan pada kesalahan pemakaian huruf kapital yaitu sebagai berikut:

a.    salah satunya, meninjau tambak yang mengalami kerusakan akibat banjir di desa Banggina Kabupaten Konawe Utara dan desa lainnya yang ada di Kabupaten Konawe. Seharusnya penulisannya yaitu Salah satunya, meninjau tambak yang mengalami kerusakan akibat banjir di desa Banggina Kabupaten Konawe Utara dan desa lainnya yang ada di Kabupaten Konawe.

b.    Camat dan Kades, seharusnya penulisannya yaitu camat dan kades.

c.    JAKARTA masuk dalam daftar 15 kota termacet di dunia. Seharusnya penulisannya yaitu Jakarta masuk dalam daftar 15 kota termacet di dunia.

d.    lembaga riset pemasaran, seharusnya penulisannya yaitu Lembaga Riset Pemasaran.

e.    adanya Negara, seharusnya penulisannya yaitu adanya negara.

f.    pantai Lanowulu, seharusnya penulisannya yaitu Pantai Lanowulu.

g.    mahkamah konstitusi, seharusnya penulisannya yaitu Mahkamah Konstitusi.

h.    Permintaan Rektor sepertinya diindahkan oleh para mahasiswa senior. Seharusnya penulisannya yaitu Permintaan rektor sepertinya diindahkan oleh para mahasiswa senior.

i.    Bahkan saat ini kata gubernur, Inspektorat daerah tengah melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap Desa, Kelurahan dan Kecamatan. Seharusnya penulisannya yaitu Bahkan saat ini kata gubernur, Inspektorat daerah tengah melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap desa, kelurahan dan kecamatan.

j.    Sedangkan pasangan calon Bupati ini menyalurkan suaranya di wilayah berbeda. Seharusnya penulisannya yaitu Sedangkan pasangan calon bupati ini menyalurkan suaranya di wilayah berbeda.


6.    Prediksi Kesalahan
Berdasarkan peringkat kesalahan pemakaian huruf kapital pada Koran Kendari Pos, edisi: Sabtu, 07 Agustus 2010, maka kesalahan yang akan sering terjadi terletak pada kesalahan huruf kapital  yang tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat. Oleh karena itu kami mengharapkan pihak Kendari Pos agar lebih memperhatikan pemakaian huruf kapital  yang tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau nama tempat. Sehingga kesalahan tersebut tidak akan terulang pada koran edisi berikutnya. Mengingat begitu besar peran koran sebagai sumber informasi, maka sangat dikhawatirkan bila terjadi kesalahan dalam hal penulisan akan mengakibatkan salah penafsiran informasi bagi pembaca.



ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA




OLEH

1.    APRILIA SUSANTI    A1D1 09042
2.    RISNAWATI        A1D1 09 066
3.    SAPARUDDIN        A1D1 08 064
                   




JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012






puisi

Persoalan Kasta dalam Dua Naskah Drama Bulan Muda yang Terbenam Karya La Ode Balawa dan Ningrat Karya La Ode Sadia.

Nama                       : Herna
NIM                        : A1D1 08 066
Alamat Sekarang      : Jl. H.E.A. Mokodompit, Lrg. Perintis Asrama Putri Monjali
Alamat Rumah          : Puulemo, Kec. Poleang Timur, Kab. Bombana, Sultra/
Lembaga                  : Universitas Haluoleo
Telp/e_mail              :    085241755560/herna.bastra@yahoo.com

Persoalan Kasta dalam Dua Naskah Drama Bulan Muda yang Terbenam Karya La Ode Balawa dan Ningrat Karya La Ode Sadia.

Abstrak
 Tujuan penganalisisan ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan menyeluruh mengenai budaya-budaya dan tradisi perjodohan atau pernikahan yang masih berkembang dalam masyarakat Buton dengan melihat bagaimana pengarang menyajikan imajinasinya dengan fonemena dan realitas yang berkembang di masyarakat dan menghubungkannya dengan budaya-budaya lain di luar masyarakat Buton yang juga memiliki tradisi atau budaya yang sama dengan seperti yang berkembang pada masyarakat Buton seperti yang dikisahkan dalam naskah drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan naskah drama Ningrat karya La Ode Sadia.

Pendahuluan

Suatu karya sastra tidak tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pada intinya pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya sehingga mampu menciptakan suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pengamatan, pemikiran, refleksi  dan pengamatan budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat atau apa yang terjadi pada lingkunagn sekitarnya.
Karya sastra juga merupakan suatu krucutusi subjektif pengarang dalam memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan sesuatu hal. Dalam hal ini karya sastra tercipta tidak hanya semata-mata ciptaan suatu individu an sich dari pengarang, tetapi ciptaan dari apa yang disebut Lucian Goldmann struktur mental dari suatu individual dari sebuah kelompok sosial, ide-ide, nilai-nilai, dan cita-cita yang diyakini dan dihidupi oleh kelompok sosial tertentu yang sesuai dengan pemikiran pengarang (Eglaton, 2002 :58).
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinsasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berada pada kulutur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra demikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumen sosiobudaya (Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001 : 61).
Sastra sebagai lembaga sosial yang menyuarakan padangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi berdasarkan fonemena sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan segala pandangan-pandanagan dunianya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori dan pendekatan untuk mengkaji atau menganalisis karya sastra, termasuk karya sastra dalam bentuk drama. Dengan pendekatan tersebut menjadi landasan pembaca untuk memberikan tafsiran, kritik atau penganalisisan terhadap karya sastra drama tersebut. Bagaimana pembaca memahami dan memberikan pemaknaan terhadap apa yang disajikan dalam naskah drama tersebut.
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan ( action) dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh beda dengan lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Drama seperti juga karya sastra lain yang merupakan refresentasi imajiner pengarang yang tidak lepas dari latar belakang sosial, dimana lingkungan masih selalu mempengaruhi imajiner pengarang dalam karyanya.
Berdasarkan hal tersebut, dipandang penting mengangkat suatu bentuk karya sastra dalam hal ini drama untuk dianalisis. Dalam  pengkajian ini penulis memilih drama yang berjudul Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa,  Ningrat karya LaOde Sadia, dan Dilarang Kawin karya Iwan Djibran  untuk dijadikan objek penganalisisan. Penulis memilih drama ini karena penulis ingin mengetahui seberapa besar faktor sosial budaya mempengaruhi imajiner pengarang dalam drama tersebut. dengan melihat melihat berbagai faktor, seperti adat istiadat, keturunan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Pembahasan.
Pada drama Bulan Muda yang Terbenam merupakan drama yang mengangkat suatu cerita dari kebudayaan Cia-Cia, suatu kebudayaan yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Drama ini menceritakan tentang cinta terlarang antara La Domai dan Wani. Di mana dalam cerita ini menceritakan tentang suatu kebudayaan masyarakat Cia-Cia, Buton yang masih mempertahankan adatnya bahwa golongan atas tidak boleh mencintai golongan bawah begitupun sebaliknya. Amangkali dalam cerita berperan sebagai ayahanda Wani yang tetap bersih keras mempertahankan adat tersebut, ia rela mempetaruhkan nyawanya hanya demi menjunjung tinggi budaya dan adat yang selama ini diyakini oleh masyarakat Cia-Cia. Amangkali tidak mahu merestui hubungan Wani anaknya dengan La domai, karena La Domai berasal dari golongan Batuatas yang tidak jelas asal-usulnya, sedangkan ia keturunan bangsawan. Ia telah menjodohkan anaknya dengan orang yang sederajat yang juga berasal dari golongan bangsawan. Meskipun ia tahu bahwa Wani anaknya dengan La Domai saling mencintai, namun ia tidak menghiraukan hal itu, karena menurutnya adat tetaplah adat dan tidak ada orang yang berhak melanggar hal itu, meskipun kematian menjadi taruhannya. Hingga beberapa penasehat kerajaan telah mencoba membujuknya, untuk sedikit sadar dalam mengahadapi hal itu, namun pendirian tidak goyah. Ia tetap pada pendiriannya semula bahwa Wani harus menikah dengan orang yang sederajat. Hingga akhirnya Wani dan La Domai pun mengambil jalan pintas, yaitu kawin lari. Amangkali sangat marah dan malu dengan kejadian itu, hingga mengutus Langkaliti, putranya untuk meyusul adiknya dan menangkap La Domai, namun dalam penangkapan La Domai tersebut terjadi pertarungan antara Langkaliti dengan La Domai, hingga La Domai terbunuh. Karena cinta yang begitu besar Wani pada La Domai, melihat La Domai terbunuh ia pun memilih untuk bunuh diri, sebagai wujud tanggung jawab dan cintanya pada La Domai.
Jika dibandingkan dengan drama Ningrat yang juga mengangkat cerita dari kebudayaan Buton, Sulawesi Tenggara. Drama ini juga mnceritakan tentang kisah cinta terlarang antara Wd. Abe dan La Ege. Dalam drama ini pengarang juga menyajikan bagaimana masyarakat Buton mempertahankan kebudayaan yang mereka yakini golongan atas atau keturunan bangsawan dalam cerita ini diperankan oleh pihak perempuan yaitu Wd. Abe tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki yang berasal dari golongan bawah yaitu La Ege. Mereka dianggap tidak sepadan karena perbedaan kasta antara keduanya. Perbedaan kasta, yang menjadi budaya turun temurun dalam cerita ini masih sangat dipertahankan. Walaupun harus mengorbankan perasaan cinta antara kedua insan atau anak-anak mereka. Wd. Abe dan La Ege yang merasa bahwa budaya itu tidak adil bagi mereka, lalu mengambil jalan pintas yaitu kawin lari yang merupakan jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk menyatukan cinta mereka yang terhalang oleh adat yang menjadi jurang pemisah antara keduanya. Walaupun mereka sadar bahwa semua itu salah, namun kekuatan cinta mampu membuat mereka menepis semua rasa bersalah itu. Rasa bersalah yang bukan hanya kepada diri sendiri, namun rasa  bersalah pada orang tua, masyarakat dan kebudayaannya yang dipertahankan oleh leluhurnya.
Melihat kedua drama tersebut yang masing-masing mengangkat tema yang sama dan latar yang sama, yaitu tentang cinta terlarang yang diakibatkan karena perbedaan status atau kasta antara keduanya yang terjadi dalam masyarakat Buton. Drama ini juga diciptakan oleh La Ode Balawa dan La Ode Sadia yang jika dilihat dari gelar bangsawan yang melekat pada mereka menandakan bahwa keduanya juga keturunan bangsawan Buton. Jelas terlihat bahwa lingkungan atau sosial budaya sebagai realita yang betul-betul terjadi dalam masyarakat di mana pengarang berasal, menggambarkan bahwa karya sastra atau drama yang juga merupakan hasil imajiner mereka tidak lepas dengan kondisi atau apa yang terjadi pada masyarakatnya atau kultural atau disebut juga lokalitas pengarangnya. Pengarang melihat bahwa adanya budaya-budaya yang berkembang dalam masyarakatnya yaitu budaya-budaya kastaisme yang masih kental dan selalu dipertahankan. Walaupun kadang pergelokkan cinta mampu melawan dan menepis semua kebudayaan itu, tapi terkadang juga kebudayaan itu menghancurkan hati insan-insan yang terikat dalam lingkup kebudayaan tersebut dan terkadang juga menjadi perang kecil yang bisa menelan korban nyawa, seperti apa yang terjadi dalam drama Bulan Muda yang Terbenam, di mana Wani dan La Dumai nekad kawin lari dan akhirnya terbunuh karena mencoba melawan budaya atau tradisi yang berlaku. Hal ini menandakan bahwa adanya ketidakkonsistenan aplikasi adat atau tradisi yang seharusnya dipertimbangkan oleh para leluhur adat, namun tidak sedikit keegoisan yang lebih besar dan rasa malu yang semakin membukit membuat adat selalu dipertahankan.
Kebudayaan perkawinan dan perjodohan yang sering sekali tidak dapat terlepas dari berbagai faktor, seperti dalam kedua drama tersebut yaitu faktor kasta sungguh sulit dihilangkan. Walaupun zaman semakin berkembang dan modernisasi semakin melaju yang disebut dengan kondisi dinamis. Namun tidak membuat semua hal itu membuat budaya yang diceritakan dalam kedua naskah drama tersebut juga bergerak dinamis seperti modernisasi, tetapi kenudayaan itu terus statis dipertahankan oleh para orang tua yang juga sebagai penggerak dan pewaris adat. Seperti orang tua Wani dalam drama Bulan Muda yang Terbenam, yaitu Amangkali, ayah Wani bagaimana ia bersih keras mempertahankan adat istiadat dan budayanya. Menentang keras hubungan anaknya Wani dengan La Domai karena ia merasa tidak pantas merangkul La Domai yang hanya orang biasa yang sungguh tidak sepadan dengannya. Ia lebih memilih laki-laki yang sepadan dengannya, walaupun harus mengorbankan dan melukai hati anaknya, Wani. Ia tidak peduli dengan cinta dan cinta. Amangkali hanya ingin tahu bahwa ia keturunan bangsawan dan Wani putrinya yang mengalir dalam darahnya darah bangsawan juga harus menikah dengan orang yang berhak dan pantas untuknya, yaitu laki-laki yang juga berasal dari golongan orang atas yang memilki kasta yang sederajat dengan Wani.
Begitupun dengan apa yang terjadi dalam drama Ningrat, bagaimana ayah Wd. Abe bersih keras melarang anaknya Wd. Abe menikah dengan La ege yang hanya orang biasa. Walaupun juga ia tahu konsekuensi dari perbuatannya itu yaitu bisa melukai hati anaknya dan bisa saja anaknya nekad melakukan hal yang bisa lebih memalukan jika dibandingkan dengan bila melangsungkan pernikahan dalam ranah beda kasta.
Jika kita melihat konsekuensi yang terjadi akibat adanya larangan-larangan atau batasan-batasan adat dan budaya yang dicanangkan orang tua terhadap anak-anaknya yang terjadi dalam kedua cerita dalam drama tersebut. Bukannlah hal yang lebih positif yang terjadi. Namun yang terjadi justru hal yang lebih mengerikan dan lebih ke hal negatif yang terjadi. Di mana kita lihat bahwa larangan atau batasan itu, atau tidak jarang ancaman-ancaman yang yang dilontarkan para orang tua tersebut, tidaklah merubah atau bahkan mengurungkan niat anak-anaknya untuk mengubah atau bahkan meninggalkan kekasih mereka yang jelas-jelas sudah ditentang oleh orang tua mereka. Karena rasa cinta yang terlanjur menyatu dan rasa ingin keluar dari tradisi dan batasan-batasan yang menurut mereka sudah tidak pantas lagi bagi mereka, membuat mereka semakin ingin lari dari semuanya. Mereka ingin menghancurkan benteng-benteng budaya yang hanya bisa mengecam hati dan jiwa mereka. Perbedaan kasta menurut mereka bukanlah hal yang logis dan menjadi jurang pemisah antara insan yang satu dengan insan yang lain, apalagi dalam hal perjodohan dan cinta suci. Manusia adalah makhluk ciptaan yang sama, manusia pasti ingin dilahirkan dalam kasta yang sama namun takdir kadang meletakkannya di tempat yang berbeda. Jadi perbedaan kasta adalah suatu kebudayaan yang seharusnya ditepis meski hal itu bisa menodai kodrat mereka dan menghasilkan dosa bagi dirinya, kepada orang tuanya, masyarakat, adat dan agamanya.
Kita melihat seperti apa yang dilakukan Wani dan Ladomai, juga yang dilakukan Wd. Abe dan La Ege yaitu tekanan-tekanan yang diberikan orang tua mereka yang mengakibatkan tekanan psikis membuat mereka semakin bingung dan kita lihat apa yang mereka lakukan untuk melawan semua tekanan itu, yaitu kawin lari. Kawin lari merupakan pilihan terakhir yang mereka harus tempuh demi untuk menyatukan tekad dan cinta mereka. Mereka sudah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Meyakinkan orang tua yang hanya diisi dengan penjelasan-penjelasan perasaan tidak akan mampu menepis keegoisan orang tua mereka. Walaupun mereka sadar kawin lari adalah hal yang tabuh dan bisa saja mengorbankan nyawa mereka. Namun demi untuk melawan adat dan budaya itu hal tersebut harus berani mereka lakukan dan itu juga diwujudkan sebagai tanda betapa mereka saling mencinta dan betapa mereka tertekan oleh adat dan budaya itu. Namun terkadang apa yang mereka lakukan itu justru menambah masalah baru. Seperti apa yang diceritakan dalam drama Bulan Muda yang Terbenam. setelah diketahui Wani dan Ladomai kawin lari, semakin menambah amarah orang tua Wani yang dianggap bahwa hal itu adalah pelanggaran besar dalam keluarganya. Ia memerintahkan agar Ladomai dibunuh dan hingga Ladomai pun terbunuh dan tanpa Amangkali menyadari hal itu justru semakin melukai hati putrinya, hingga putrinya pun nekad bunuh diri untuk membuktikan bahwa betapa ia mencintai Ladomai dan mungkin saja hal itu dilakukannya untuk memperlihatkan dan menyadarkan ayahnya betapa tidak adilnya ayahnya kepadanya, betapa tidak adilnya adat dan budaya itu yang bisa saja memakan korban insan-insan yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Bukankah hal ini adalah hal yang seharusnya dipikirkan kembali dan seharusnya menjadi pertimbangan balik terhadap adat dan budaya tersebut.
Jika kita memahami fonemena ini dan membandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa hal seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Cia-Cia atau masyarakat Buton. Tetapi hal yang sama juga terjadi pada etnik lain yang juga tidak kalah kental budayanya, yaitu masyarakat Bugis yang sampai sekarang budaya siri` masih terus dilestarikan. Bahkan masyarakat Bugis tidak hanya sebatas melihat pada perbedaaan kasta. Namun melihat pada berbagai aspek yaitu aspek etnik. Budaya siri` (malu) yang ditanamkan jika anak-anak atau keturunan mereka menikah dengan orang yang berasal dari etnik berbeda. Merupakan hal yang sangat tabuh dan hal yang sangat dilarang untuk dilakukan. Dengan melihat fonemena yang batas pergaulan semakin berkembang, bergaul bahkan merajuk cinta dengan laki-laki atau perempuan yang berbeda etnik sangat tidak bisa dipungkiri. Namun hal itu belum bisa menepis semua tradisi dan kebudayaan itu. Fakta sosial yang terjadi di kalangan remaja belum cukup menyadarkan para pewaris tradisi dan budaya yang terus saja berdiam pada apa yang diamininya.
Cerita yang dikisahkan dalam kedua drama tersebut sebenarnya merupakan cerminan tentang apa yang terjadi pada masyarakat kita. Tentang apa yang sampai sekarang masih dipertahankan. Walaupun hal seperti tersebut sekarang ini mencoba untuk ditepis oleh nsan-insan sekarang meskipun belum sepenuhnya tertepis. Seharusnya orang tua membuka mata bahwa persoalan kasta bukanlah hal yang perlu dilestarikan. Perbedaan kasta bukanlah hal yang pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keran bisa saja orang yang berasal dari kasta atau golongan atas perlakuan atau sifat dan sikapnya tidak mencerminkan yang semestinya dimiliki oleh orang yang berkasta atas. Namun sebaliknya orang yang tidak berkasta atas sifat dan sikapnya lebih mulia daripada orang yang berkasta atas. Tindak kebaikan seseorang tidak diukur dari kasta atao gelar bangsawan yang ada pada dirinya. Tetapi bagaimana seseorang menghargai dan menempatkan dirinya sedemikian baik dan bagaimana ia berlaku dan bersikap baik dalam bergaul dalam lingkungan hidupnya. Persoalan kasta bukanlah hal yang menjadi pertimbangan besar bahkan menjadi penghalang seseorang untuk menyatukan cinta dalam suatu ikatan pernikahan. Persoalan kasta hanyalah persoalan derajat-derajat keturunan yang melekat pada orang-orang yang memang memegang teguh suatu prinsip dan keyakinan yang mampu menduduki derajat kasta itu dengan baik. Namun jika kita melihat fonemena yang terjadi sekarang seseorang yang berderajat atau orang yang membangga-banggakan kasta atau derajat yang mereka miliki tidak jarang tidak sesuai dengan perbuatan dan sikap atau tata krama yang mereka tampilkan dalam kehidupannya dalam lingkup pergaulan di masyarakat.
Simpulan dan Saran.
Simpulan.
Berdasarkan pada penganalisisan pada pembahasan, maka diperoleh simpulan penganalisisan bahwa dalam drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan Ningrat karya La Ode Sadia keduanya menceritakan fonemena sosial yang terjadi dalam masyarakat yang disorot dari segi budaya perkawinan yang masih sering terjadi dalam budaya masyarakat yang tidak hanya terjadi pada masrayakat Cia-Cia atau masyarakat Buton, tetapi juga terjadi pada budaya atau tradisi masyarakat lain, seperti masyarakat Bugis yaitu masih ditemukannya perjodohan-perjodohan dan pertentangan pernikahan akibat perbedaan kasta, yang tidak sedikit berakhir dengan kericuhan dan pertentangan besar antara kedua pihak.
Saran.
Simpulan penganalisisan seperti yang telah dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial yang disajikan dalam naskah drama seharusnya menyadarkan masyarakat yang masih mempertahankan tradisi perjodohan dan masih menganggap kasta adalah jurang pemisah apalagi dalam hal perjodohan dan pernikahan seseorang.

Daftar Pustaka

Djibran, Iwan. 2005. Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.
Hidayat, ahid. 2009. Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda, Sejumlah telaah. Kendari: FKIP Unhalu.
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra, cetakan kedua. Makassar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Makassar (UNEM).

Herna  dilahirkan di Puulemo, 11 Oktober 1990, semasa kecilnya ia habiskan di desa Puulemo, Kecamatan Poleang Timur dan di Kota Kolaka, Sulawesi Tenggara. Setelah tamat di SDN 3 Bambaea, Kecamatan Poleang Timur (tamat 2002), kemudian melanjutkan sekolah di SLTPN 1 Poleang Timur (tamat 2005), tamat di SLTPN ia melanjutkan sekolah  di SMAN 1 Poleang Timur, Kecamatan Poleang Timur, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara dan sekarang menjadi mahasiswa Jurusan  Bahasa dan Seni di FKPI Unhalu, semester 4.





Tuhan

Tuhan

Malam ini Engakau telah memberikanku nikmat air mata
Meski bukan air mata kebahagiaan
Tapi aku yakin tuhan dibalik air mataku ini
Esok, lusa atau suatu saat nanti air mata ini
Akan mampu menyibak seribu senyum dibalik lesung pipit
Membuka tabir kelam masa silam
Yang menyekap tubuh ini dalam remang kehidupan
Sampai aku yakin masih mampu tersenyum seribu tahun lagi
Pengharapanku takakan pernah berujung sampai aku merasa menjadi umatmu
Yang takut akan ancamanmu kelak
Aku takutTuhan…..
Ketika aku menghadapmu aku tak mampu menjawab lima pertanyaanmu



Poetry

Menapaki Jejak Realita

Kubangan air mendominasi setiap liuk jejalanan
Tak ada celah buat kaki berpijak
Hanya plat merah yang angkuh menapaki jalanan itu
Tak ada rasa berdosa bagi mereka yang berwenang
Yang selalu mengantongi rupiah
Dimana tanggung jawab mereka letakkan…?
Mana bukti visi Misi yang  digembor-gemborkan
Fasilitas umum yang bakal dijadikan prioritas
Apakah itu semua hanya tinggal omongan belaka
Tanpa ada realisasi yang nyata
Tak didengarkah keluhan rakyat.?
Atau mereka selalu bersembunyi dibalik
Gedung-gedung Parlemen
Yang menghiasi sudut kotaku
Harapan terganti dengan keluhan
Impian rakyat kecil pupus begitu saja
Termakan keegoisan para penguasa




























Kamis, 07 Juni 2012

penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13

BAB I
PENDAHULUAN



1.1    Latar Belakang

Bahasa yang digunakan para jurnalis dan penulis bisa sama, tetapi gayanya pasti berlainan. Setiap penulis atau jurnalis, niscaya memiliki gaya bahasa masing-masing yang membedakan dirinya dengan penulis atau jurnalis lain. Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Gaya Bahasa adalah  Pemakaian kata – kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk melukiskan sesuatu maksud tanpa untuk membentuk plastik bahasa. Yang dimaksud plastic bahasa adalah Daya cipta pengarang dalam membuat cipta sastra dengan mengemukakan pemilihan kata yang tepat .
 Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam pengertian secara kalamiah saja (Warrier, 1979:602). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 2004:113). Kejujuran dalam bahasa tulis, berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Sopan-santun adalah menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendenagr tatau pembaca, menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal(imajinatif).
Seorang jurnalis pada dasarnya seorang penulis, tetapi seorang penulis belum tentu seorang jurnalis. Seorang jurnalis berkualitas, dituntut tidak saja menguasai teknik jurnalistik seperti aspek-aspek peliputan, tetapi juga diisyaratkan menguasai teknik dan aspek-aspek penulisan. Secara umum, gaya bahasa terdiri atas empat bagian besar yaitu: gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Akan tetapi dalam makalah ini hanya membahas mengenai gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan.Gaya bahasa perbandingan  mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Gaya bahasa perbandingan yang mengganti suatu pengertian dengan kata lain yang hampir sama artinya dengan maksud untuk menghindarkan pantang atau sopan santun. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34).
Menurut Tarigan, gaya bahasa pertentangan semuanya terdiri  atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks,  (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).

1.2    Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13?

1.3    Tujuan 
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13.

1.4     Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.

1.    Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran
2.    Bagi perbandingan dan pebaca, sebagai media informasi mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran.
3.    Bagi pihak Media Indonesia, sebagai bahan pertimbangan mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan yang digunakan dalam koran Media Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Gaya bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan  mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34). Berikut ini penjelasaan mengenai sepuluh gaya bahasa tersebut.

1.    Perumpamaan

Gaya bahasa perumpamaan yaitu membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsure-unsur persamaan di antara keduanya. Dalam bahasa Latin, perumpamaan disebut simile yang berarti seperti. Para jurnalis hanya dapat menggunakan gaya bahasa perumpamaan ini ketika menulis tajuk rencana, artikel, kolom, berbagai jenis cerita khas berwara (feature), cataatan perjalanan, atau pelaporan mendalam (depth reporting). Gaya bahasa perumpamaan tidak boleh digunakan pada laporan jenis berita langsung (straight news) karena menurut kaidah jurnalistik, gaya bahasa jenis ini termasuk subjektif. Etika dasar jurnalistik mengajarkan, seorang jurnalis tidak boleh bersikap subjektif dalam berita yang ditulisnya. Ia harus objektif, sikap objektif tidak hanya tampak pada materi isinya tetapi juag harus terlihat jelas pada susunan katanya. Contoh: Penjahat itu licin seperti belut, rakus seperti monyet. 

2.    Metafora
Secara etimologis, metafora berasal dari bahasa Yunani yaitu metaphore (meta: di atas dan pherein: membawa). Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Metafora adalah jenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, dan tersusun rapi. Di dalamnya terdapat dua gagasan. Gagasan yang pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan yang kedua merupakan pembanding terhadap kenyataan pertama tersebut (Tarigan, 1983:141;1985:183). Pada metafora kata-kata penyebut yang secara eksplisit menunjukkan adanya perbandingan yakni bagai, bak, ibarat, seperti, laksana sengaja tidak dimunculkan. Seorang penulis taau jurnalis dianjurkan untuk sesekali menggunakan metafora secara fungsional dan variatif dalam karya-karya seperti pada artikel, pojok, karikatur, dan cerita khas berwarna (feature). Contohnya: anak emas, buah bibir, dan lain-lain.

3.    Personifikasi
Secara etimologis, personifikasi berasal dari bahasa latin. Persona yang berarti orang, pemain, pelaku, subjek, atau topeng dalam permainan drama dan sandiwara. Menurut Edgar Dale, dengan gaya bahasa personifikasi kita memberikan cirri-ciri  atau kualitas pribadi seseorang kepada gagasan atau benda-benda tidak bernyawasehingga benda-benda tidak bernyawa itu seolah-olah enjadi hidup atau bernyawa seperti layaknya manusia (Dale, 197:221). Personifikasi lebh tepat digunakan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya soft news. Seorang jurnalis surat kabar harian menggunakn personifikasi secara terbatas, kecuali pada artikel, kolom, pojok, karikatur, lapoan perjalanan, dan cerita khas berwarna (feature), dan sesekali pada teks foto. Contoh gaya bahasa personifikasi yaitu: Mentari menciumi tubuh gadis itu.

4.    Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa, sebagai benda mati yang kaku beku. Gay bahasa ini dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menunjukkan situasi, posisi, atau kondisi seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu hal yang sifatnya pasif. Seorang jurnalis dianjurkan sering menggunakan dpersonifikasi untuk melaoprkan realitas kehidupan yang sarat dengan unsure ironi, paradoks, tragedi, dan bencana yang kerap dating silih berganti. Melaui deperonifikasi seorang jurnalis dapat melukiskan ksiah-kisah ironis , tragis secara lebuh tajam. Efek psikologis yang ditimbulkannya pada khalayak niscaya sangat dalam, sehingga khalayak bisa terkuras air matanya. Contohnya: Dari tadi kakek tua itu mematung.

5.    Alegori
Alegori berasal dari bahasa Yunani, allegorein  yang berarti bicara secara kias atau bicara menggunakna kias. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dengn lambing-lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambnagkan. Alegori biasanya mengandung lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisi atau prosa. Fable adalah sejenis alegori yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia (Tarigan, 1985:24). Alegori sering kita temukan dalam bahasa jurnalistik majalah remaja dan majalah anak-anak , misalnya kisah buaya yang tamak. Tujuannya lebih banyak bersifat persuasive dan edukatif daripada argumentative dan korektif.


6.    Antitesis
Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1976:52). Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonym yaitu kata-kata yang mengandung cirri-ciri semantic yang bertentangan (Ducrot dan Todorov, 1981:277 dalam Tarigan, 1985:27). Antitesis termasuk salah satu gaya bahasa andalan dalam dunia jurnalistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya factual menajadi seolah-olh karya fiksi yang sifatnya imajisional. Contoh: Dia bersukacita kalau aku dipenjara.

7.    Pleonasme dan Tautologi
Pleonasme adalah pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761). Pleonasme disebut juga penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas. Sedangkan tautologi adalah penegasan terhadap suatu hal yang mengandung unsure perulangan tetapi dengan menggunakan kata-kata yang lain. Bahasa jurnalistik tidak menyukai pleonasme dan tautology karena keduany bertentangan dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.
Contoh pleonasme: Dia mendengar istrinya telah berselingkuh dengan sopir truk dengan telinganya sendiri.
Contoh tautologi: darah merah itulah yang melumuri wajahnya.

8.    Perifrasis
Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip denga pleonasme. Kedua-duanya mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada gaya bahasa periphrasis, kat-kata ynag berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Keraf, 20004:134). Bahasa jurnalistik menekankan, periphrasis tidak cocok digunakan untuk berbagai karya yang ditulis oleh para jurnalis Karena sarat dengan unsure pemborosan kata. Kaluapun terpaksa hanya dipakai sesekali saja. Contoh: Wartawan olahraga itu mengakhiri masa lajangnya (menikah).

9.    Antisipasi (Prolepsis)
Kata antisipasi berasal dari bahasa latin anticipation yang berarti mendahului atau penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234). Pemakaian antisipasi banyak ditemukan dalam jurnalistik olahraga misalnya sepak bola, tidak hanya menampilkan berita pertandingan, tetapi juga mengungkap banyak aspek lain yang menyertainya. Antisipasi juga tidak jarang kita temukan dalam jurnalistik criminal. Contoh: Tiga hari sebelumnya, gadis malang itu masih sempat singgah ke salon dekat rumah untuk potong rambut.


10.    Koreksio (Epanortosis)
Koreksio atau epanortosis adalah gaya bahasa yang berwujud semula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaikinya mana yang salah (Tarigan, 1985:34-35). Bahasa jurnalistik tidak melarang penggunaan koreksio. Gaya bahasa jenis ini sesekali bahkan dianjurkan dipakai sebagaii bentuk variasi kalimat sekaligus menghindari kejenuhan. Contoh: Ia mengaku keturunan raja karet, oh bukan, keturunan raja kepepet!
 

2.2 Gaya Bahasa Pertentangan

gaya bahasa pertentangan yaitu membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan, gaya bahsa pertentangan semuanya terdiri  atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks,  (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).

1.    Hiperbola

Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pertanyaan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frasa, atau kalimat (Tarigan, 1985:55). Seorang penulis atau jurnalis disarankanuntuk lebih berhati-hati menggunakan hiperbola. Jika tidak, bukan informasi akurat yang disampaiakn kepada khalayak, melainkan justru penjelasan yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Seorang jurnalis tetap harus bersikap objektif, akurat, dan berimbang. Contoh: Jakarta nyaris tenggelam dilanda banjir.

2.     Litotes
Litotes berasal dari bahasa Yunani yaitu litos yang berarti sederhana,  litotes adalah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan atau pernyataan yang sebenarnya (Moeliono, 1984:3). Contoh: Jika ada waktu singgahlah di gubuk saya (padahal rumahnya seperti istana).

3.    Ironi
Ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara suasana ya g diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya, dan (c) ketaksesuaian antara harapan dan kenyataan (Moeliono, 1984:3). Dalam perspektif bahasa jurnalistik, ironi umumnya digunakan sebagai salah satu bentuk pemenuhan fungsi koreksi (social control) media massa sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang. Contoh: Bandung adalah kota kembang yang penuh sampah.

4.    Oksimoron
Kata oksimoron berasal dari bahasa latin okys dan moros yang berarti gila (Tarigan, 1985:63). Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegakkan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim (Ducrot dan Todorov, 1981:278). Dalam perspektif bahasa jurnalistik, oksimoron bisa digunakan untuk mengingatkan tentang berbagai pilihan yang dapt ditempuh masyarakat. Pada akhirnya, pilihan apapun yang diambil masyarakat, pasti ada konsekuensi dan resikonya. Secara filosofis, oksimoron mengajarkan masyarakat untuk mengembangkan sikap tanggungjawab dan kemandirian. Contoh: Terjun payung adalah olahraga beresiko kematian.

5.    Satire
Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi bermacam-macam buah-buahan. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusa. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis dan etestis (Keraf,1985:144;2004:144). Aksi aksi unjuk rasa yang sering kita dengar dan lihat di berbagai kota besar di Indonesia seama ini, sarat dengan muatan satire. Misalnya, pengusungan keranda jenazah sebagai simbol kematian demokrasi; atau pembakaran papan nama suatu perusahaan karena perusahaan itu dianggap telah gagal melindungi dan menyejahterakan pekerja. Satire bisa juga ditampilkan dalam bentuk tulisan , seperti: mari kita belajar jadi koruptor yang dermawan; Indonesia surga  narkoba; ajari kami cara menipu rakyat. Satire, memang sarat dengan nuansa protes sosial.  Jurnalis tidak boleh terpaku pada satire. Jurnalis harus melakukan berbagai konfirmasi.


6.     Inuendo

Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil lalu saja (Keraf, 1985: 144; 2004;144). Secara ideologis dan sosiologis, media massa di Indonesia sangat menyukai innuendo. Dengan innuendo, orang atau pihak-pihak terkena sasaran kritik tidaka akan tersinggung atau merasa dipermalukan di depan umum. Mereka menerima kritik media massa dengan lapang dada karena kritik yang dilontarkan dianggap rasional dan proporsional. Ineundo memng salah satu jenis bahasa yang lebih menonjolkan aspek rasional. Para jurnalis kita sejak dini diajarkan untuk menggunakan innuendo. Contoh: Pidatonya disambut dingin karena tidak menyinggung kenaikan gaji.

7.    Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makan kebalikannya. Bila diketahui yang hadir adalah seorang yang kurus, lalu dikatakan si gendut telah hadir, maka jelas gaya bahasa tersebut antifrasis (Tarigan, 1985:75). Antifrasis termasuk jenis gaya bahasa murni karena membicarakan suatu keadaan yang berlaku sebaliknya dari apa yang dikatakan. Pada dunia atau kelompok-kelompok masyarakat yang sarta dengan konflik, antifrasis tumbuh subur. Setisp orsng bshksn cenderung untuk memunculkan antifrasis versinya sendiri. Bahasa jurnalistik sebaliknya tidak terjebak dalam iklim dan kecenderungan demikian . Seorang jurnalis dibekali perangkat moral dan rujukan professional untuk tetap bersikap objektif, berimbang, netral.Contoh: Inilah pahlawan kita (padahal pengkhianat).

8.    Paradoks
Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimanapun diartikan selalu berakhir dengan pertentangan (Shadily, 1984:2552). Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 1985:136: 2004:136). Dengan paradox, penulis atau jurnalis dapat menunjukkan dengan tegas, betapa tokoh, subjek cerita, atau narasumber yang dikisahkan benar-benar sedang menghadapi keadaan atau tekanan tertentu, baik secara psikologis maupun sosiologis. Contoh: Mantan pejabat itu merasa bahagia setelah masuk penjara.

9.    Klimaks
Kata klimaks berasal dari bahasa Yunani klimax yang berarti tangga Klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makinlama makin mengandung penekanan, kebalikannya adalah antiklimaks (Shadily, 1984: 1795). Klimaks menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis. Klimaks berbicara dari yang terbawah sampai tertinggi atau titik puncak, dari awal sampai akhir. Klimaks kerap ditemukan pada karya cerita khas berwarna (feature) yang mengandung unsure kejutan, misteri, dan petualangan. Contoh: Datang, berjuang, menang.

10.    Antiklimaks
Antiklimaks adalah kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Sebagai gaya bahasa, antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks dapat digunakan sebagai suatu istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut, yaitu dekrementum, katabasis, dan batos. Dekrementum adalah semacam antiklimaks yang berwujud menambah gagasan yang kurang pentig pada suatu gagasan yang penting. Katabasis adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengurutkan sejumlah gagasan yang semakin kurang penting. Batos adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengandung penukikan tiba-tiba dari suatu gagasan yang sangat penting ke suatu gagasan yang sama sekali tidak penting (Tarigan, 195:81-82). Contoh dekrementum: Rektor mengingatkan gelar sarjana yang diraih akan sangat penting maknanya apabila sejak esik haripara wisudawan tak bertopang dagu di atas teras. Contoh katabasis: Kampanye gerakan hidup sehat itu diikuti para manula, dewasa, remaja, anak-anak, dan bahkan balita. Contoh batos: Dia dikenal sebagi jenderal penembak jitu, hidup dibawah ketiak isteri pula.

11.    Sinisme
Sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya (Tarigan, 1985:91). Prinsip jurnalistik tidaklah dibangun di atas pijkan sinisme tetapi justru di atas landasan realism. Betapapun demikian bahsa jurnalistik kaya kata dan nuansa. Selain itu, bahsa jurnalistik tidak lepas dari fungsi koreksi yang melekat dalam dirinya. Secara fungsional dan kontekstual, penulis atau jurnalis perlu menggunakan sinisme ketika menyajikan karya-karya jurnalistik yang bersifat korektif. Sinisme terutama dapat dituangkan dalam tajuk rencana, pojok, karikatur, artikel, kolom, surat pembaca, dan aneka jenis kartun. Contoh: Apa yang tidak bisa anda beli? Jangankan mobil dan rumah mewah, istri orang lain pun anda sikat. Bahkan Negara ini besok lusa jadi milik anda. Kalau mau, anda juga bisa menyebut diri sebagai Tuhan.

12.    Sarkasme
Kata sarkasme berasal dari Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti merobek-robek daging seperti anjing, menggigit karena mara, atau bicara dengan kepahitan (Keraf, 1985:144:2004:144). Ciri utama gaya bahas sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92). Dalam perspektif jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menunjukkan kaidah normative pada bidaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan social-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikitr logis-etis tetapi lebih suka mengembangkan cara cara sikap dan perilaku sadis anarkis.
Bahasa jurnalis tunduk pada kaidah etis. Jadi, bahasa jurnalistik  terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. Redaktur atau edotor media massa, harus mewaspadai kemungkinan lolosnya sarkasme dalam karya-karya yang ditulis para penulisatau jurnalis. Redaktur harus menyadari, sarkasme pada bahasa jurnalistik, bisa muncul dari banyak pintu. Bisa melalui kalimat kutipan atau ucapan langsung,  bisa pula melalui kaliamat berita atau pelaporan yang ditulis para jurnalis. Contoh sarkasme kutipan: Kau bisa jadi ketua tapi langkahi dulu mayatku. Contoh sarkasme pelaporan: Kejaksaan kini memeriksa lima koruptor yang sangat terkutuk dan penuh laknat itu.

2.3    Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan pada Koran Media Indonesia

Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa perbandingan. Adapun gaya bahasa perbandingan yang digunakan yaitu sebagai berikut:

1.    Perumpamaan
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, digunakan gaya bahasa perumpamaan, yaitu:  Amerika Serikat bagaikan polisi dunia. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa perumpamaan karena membandingkan dua hal yang berbeda, sehingga dianggap memiliki unsure-unsur persamaan diantara keduanya.

2.     Pleonasme
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa pleonasme, yaitu: Tidak hanya itu. Seperti tidak mau kalah, pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur, pun membuat kejutan. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa pleonasme karena terdapat pemakaian kata kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761).

3.    Antisipasi (Prolepsis)
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, terdapat penggunaan gaya bahasa antisipsi, yaitu: Hari ini H-3 menjelang ajang pesta olahraga bergengsi ke-26 bagi Negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau SEA games XXVI. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa antisipasi karena menyatakan penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234).


2.4    Penggunaan Gaya Bahasa Pertentangan pada Koran Media Indonesia
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa pertentangan. Adapun gaya bahasa pertentangan yang digunakan yaitu sebagai berikut:

1.    Ironi
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa Ironi, yaitu: Semakin rajin saja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah membebaskan terdakwa korupsi. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa ironi karena menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok.

2.    Inuendo
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa Inuendo, yaitu: Banyak lembaga dibuat, banyak satgas dibentuk, tetapi sekedar menjadi aksesoris. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa innuendo karena menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil alua saja (Keraf, 1985: 144; 2004:144).

3.    Klimaks
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, terdapat penggunaan gaya bahasa klimaks, yaitu: kita semua tahu capaian prestasi olahraga hanya bisa diperoleh dengan usaha sungguh-sungguh, tahapan pembinaan yang benar, program latihan terencana, konsisten, dan berkesinambungan. Dan apalagi setelah enam kali partisipasi, sejak SEA Games ke-20 1999 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, hingga SEA Games ke-25 2009 di Vientiane, Laos, Indonesia tak pernah lagi jadi juara umum. Kedua contoh tersebut merupkan gaya bahasa klimaks karena menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis.




BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan

Gaya bahasa perbandingan  mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34).
gaya bahasa pertentangan yaitu membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan, gaya bahsa pertentangan semuanya terdiri  atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks,  (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa perbandingan. Adapun gaya bahasa perbandingan yang digunakan yaitu perumpamaan, pleonasme, antisipasi. Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa pertentangan. Adapun gaya bahasa pertentangan yang digunakan yaitu ironi, innuendo, dan klimaks.

3.2    Saran
Setelah membahas mengenai Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan dan Pertentangan dalam koran Media Indonesia Edisi: 08 November 2011. Penulis menyarankan agar pihak jurnalistik Media Indonesia lebih kreatif dalam memilih dan memilah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam berita utama maupun berita opini, karena penggunaan gaya bahasa cenderung singkat dan hemat, tentu saja menghindari penggunaan kata-kata yang tidak perlu atau mubadzir.



DAFTAR PUSTAKA


Sudarsana, Gunawan. 2008. Uraian Sederhana Tentang Gaya Bahasa atau Majas. Penerbit:Indonesis Tera Anggota IKAPI.
Djuharie, O. Setiawan. 2005. Panduan Membuat Karya Tulis. Bandung: Yrama Widya.
Danririsbastin.wordpress.com/2011/04/13/jenis-jenis-gaya-bahasa.