Mengkaji “Pemabuk” Karya Bode Riswandi dalam Perspektif Stuktural
Nama : Aprilia Susanti
Stambuk : A1D1 09042
Penyair dapat bertindak sebagai sutradara dalam kancah perpuisian. Sebagai sutradara, penyair memiliki kebebasan penuh untuk memilih tokoh-tokoh serta penokohan dalam puisinya.. Pada puisi “ Pemabuk” karya Bode Riswandi, ada pertanyaan yang mencuat dari dalam diri saya, siapakah tokoh pemabuk yang penyair maksud dan mabuk yang dimaksud penyair, apakah mabuk pada konteks perbuatan amoral yang berhubungan dengan minuman keras? jika menilik latar belakang penyair yang tinggal di pedalaman Priangan yang sangat kental dengan sisi agamisnya, sepertinya tidak mungkin “Pemabuk” yang penyair maksud yaitu peminum minuman keras. Sesuatu yang diungkap oleh penyair sesuai dengan bidangnya, sehingga penyair mampu mendeskripsiksnnya dalam bentuk puisi. Untuk memahami apa makna yang tersembunyi dibalik puisi “Pemabuk”, Saya berusaha mengupasnya melalui sudut pandang tokoh dan penokohannya. Penokohan tidak bisa terlepas dari karya sastra, baik itu puisi ataujenis karya sastra yang lain, karena penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang dtiampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiantoro, 2000:165). Mengingat kehadiran tokoh dengan unsure – unsure lain sangat penting, sama pentingnya dengan jantung dan peredaran darah dalam tubuh manusia. Dia harus ada. Bila tidak, karya sastra pun tidak ada. Tokoh pemabuk, disini yaitu penyair yang mabuk dengan dunia kepenyairannya. Ternyata penyair dalam memilh dan menggambarkan watak tokohnya dalam puisi ini tidak terlepas dari sisi kehidupan penyair sebagai seorang sastrawan. Padahal dalam sebuah karya sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh siapapun orangnya, walau hal itu berbeda dengan dunianya sendiri di kehidupa nyata(Nurgiantoro, 2000:168). Namun, disimpulkan bahwa kehadiran atau keberadaan sebuah tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yangmempunyai pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, seorang tokoh harus bersikap dan bertindak semestinya sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan serta kepentingan yang disandangnya.
Mengkaji masalah tokoh dan penokohan dalam puisi tidak semudah mengkaji tokoh pada karya sastra lain, misalnya, pada cerpen, novel dan drama. Pada puisi Pemabuk terdapat empat bagian. Pada bagian pertama terdapat Tokoh Aku dan tokoh kamu. Tokoh aku dalam puisi pemabuk yang dimaksud adalah penyair, yang menggilai terhadap sesuatu, sesuatu itu tentu puisi. Tokoh Aku hadir dengan sisi romantis, idealis, dan realitis, dimana tokoh aku memandang terhadap sesuatu yang dirindukannya dan didambanya dengan sisi romantisnya yaitu “mengenangmu bulan mengucurkan anggur”, bukankah kata-kata itu sebuah rayuan yang romantis, karena anggur lambang kenikmatan. Tokoh “Aku” sebagai orang yang idealistis menggambarkannya dengan “aku menyiapkannya dengan cangkul kata-kata” tokoh aku telah mempersiapkan diri untuk menuju cita-cita yang diinginkan. Tokoh aku sebagai orang yang realistis, dideskripsikan penyair melului liriknya “bagaimana caranya membunuh waktu? Sementara aku belum siap menampung laut yang bergejolak. Tokoh kamu dideskripsikan oleh penyair lewat ungkapan perasaan yang dilontarkan oleh tokoh aku, dimana tokoh kamu sangat berpengaruh terhadap tokoh aku, dan tokoh kamu adalah orang yang berwibawa dan disegani oleh tokoh aku, sehingga sorot mata tokoh “Kamu” mampu membusurkan panah kedalam mimpi si tokoh “Aku”.
Pada bagian kedua puisi “Pemabuk”, penyair menyebut tokoh kita, kita yang dimaksud yaitu tokoh kau dan tokoh aku, yang keduanya bergelut dibidang yang sama, dan latar belakang yang sama dan nasib mereka pun sama. Dengan banyaknya persamaan yang mereka miliki, jadi tokoh kamu dan aku adalah satu perasaan dan keduanya bisa sama-sama saling memahami, saling kerja sama, dan keduanya juga masih sama-sama meragukan akan masa depan bidang yang mereka geluti. Meskipun mereka menghadapinya sama-sama, tetapi masih juga terbesit rasa pesimis dari dalam diri tokoh “kita”.
Pada bagian ketiga puisi “Pemabuk” Tokoh aku muncul dengan rasa optimisme, sehingga mampu meluluskan rasa pesimis yang dideskripsikan penyair pada puisi pemabuk bagian kedua. Begitu optimisnya tokoh aku, sehingga penyair mendeskripsikan sebutir matahari remuk berkeping di dada ini. Semangat yang menggelora nampak menyesaki dada tokoh aku. Tapi, apakah ada keterlibatan tokoh kau, ternyata tokoh kau dan tokoh aku dalam puisi ini tidak bisa dihilangkan salah satunya pada setiap bagian-a bagian puisi tersebut, karena keberadaan kedua tokoh tersebut saling berkaitan untuk membentuk cerita sehingga maksud penyair bisa tersampaikan kepada pembaca melalui karakteristik tokoh-tokohnya.
. Penyair pada puisi ini berdiri sebagai tokoh aku, yang mengakui kelebihan dari tokoh kau, dimana tokoh kau adalah orang yang bertangan dingin dalam hal berkarya, dan di tanganmu puisi mengembun, taman – taman juga cahaya-cahaya megah lainnya bermunculan. Itu merupakan ekspresi kekaguman tokoh aku kepada tokoh kau, penyair tidak memperjelas tokoh kau yang dimaksud itu siapa, Karena ada puisi ini dari awal penyair tidak mencantumkan, bahwa puisi ini ditujukan untuk seseorang. Pada puisinya yang lain, penyair mencantumkan, bahwa puisi yang ditulisnya ditujukan untuk seseorang. Misalnya pada puisinya yang berjudul “ Head Line Sebuah Koran yang Kubaca di Terminal”, puisi tersebut penyair tujukan untuk Qoribulloh. Pada puisinya yang lain yang berjudul “Mendaki Kantung Matamu”, puisi tersebut ditujukan untuk WS. Rendra. Pada puisi Pemabuk, penyair tidak mencantumkan, bahwa sebenarnya puisi ini ditujukan untuk siapa, tapi yang jelas tokoh kau yang dimaksud adalah penyair, keduanya sama-sama bergelut dibidang sastra. Dan keduanya sama-sama menjadi pemabuk kata-kata, dalam hal ini puisi. Lalu keduanya sama-sama menyerahkan diri dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menghasilkan puisi.
Pada bagian keempat, tokoh kau sebagai seseorang yang dikagumi oleh tokoh aku, sehingga setiap gerak-gerik tokoh kau mendapat apresiasi positif dari tokoh aku. Pada puisi ini, penyair memilih tokoh kau sebagai reaksi hubungan social sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pemilihan tokoh pada puisi pemabuk, saya tidak melihat
hubungan timbal-balik antara Pencipta dan ciptaanNya, tetapi saya melihat pada puisi ini terdapat hubungan timbal-balik antara sesama makhluk ciptaan tuhan. Bode Riswandi sebagai penyair sufistik, pada puisinya yang lain, menggunakan tokoh kau sebagai tuhan, seperti pada puisinya yang berjudul ”Seperti Sungai”. Bode riswandi mempersepsi Tuhan melalui batin dalam puisi sufistiknya , sebagaimana dikemukakan bahwa mata yang berhubungan dengan penglihatan memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Ketajaman mata berkaitan dengan ketajaman dengan ketajaman persepsi dan akhirnya dengan ketajaman mata batin (Pamusuk Eneste,1984). Ketajaman mata batin pengarang dalam pemilihan tokoh-tokohnya dan penokohannya dapat memperkuat chemistry antara puisi dengan pembaca.
Pemabuk
(1)
Mengenangmu bulan mengucurkan anggur
Kebungkaman batu menyuguhkan cawan besar
Bagi kemabukan penyair serta para musafir
Aku telah membangun langit ini dan kuhancurkan kembali
Setiap waktu. Bagaiman caranya membunuh waktu?
Sementara aku belum siap menampung gelombang yang bergolak.
Adalah matamu yang membusurkan anak panah itu ke dalam tidurku
Bintang-bintang berjatuhan bagaikan burung namun masih ada
Cahaya lain dari bintang-bintang lain. Bagaimana harus kuremukkan
Kedinginan yang meninggikan pohonan liar dalam hatiku?
Sementara kau masih menyimpan ribuan anak panah
Dan rindu yang menggenang di selakanganmu terus mangalirkan darah.
Pada padi-padi yang kian tumbuh menguning dengan bahasamu
Pada puisi yang menggenang di ladang kesunyian yang subur
Aku menyiapkan cangkul kata-kata
Kemudian meminum Lumpur bersama siput dan belut
Sambil menikmati kemabukan sendiri
Dari anggur yang sama, langit yang sama, dan bulan seadanya.
(2)
Kita telah sama-sama memahami, bahwa langit kita
Terbuatdari kayu yang menyaibkan bulan seadanya.
Kita telah sama-sama menandai langit yang hitam
Walau tak satu pun sebatang hujan kita miliki.
Aku merindukan musim kembali meledak seketika
Merampungkan sepasang daun telinga
Lalu kuhayati segenap kehidupan ini tanpa sepasang pendengaran.
Walau puisi takkan jauh dari kesepian dan kesepian
Selamanya menjadi malam. Meski sama-sama kita sangsikan.
(3)
Aku berteriak, kemabukanku menonjok hingga ke ceruk matahari
Langkahku sempoyongan dan darahku bertambah menyengat
Menjadi perapian bagi kata-kata. Sebutir matahari remuk berkeping
Di dada ini. Langit pun lapang saat kau menandai tanganku
Dengan banyak gigitan.
Aku bertolak mengikuti angin, mengalir seperti sungai
Lalu kulayarkan perahu. Disini pun kau memancangkan tubuhmu
Menjadi mercusuar, padahal aku telah menanti perkelahian.
Perhelatan yang tak terelakkan. Nyanyian yang membosankan.
Juga kemabukkan yang dipetimatikan.
Aku melonglong seperti serigala tanpa bulan
Tanpa bukit dan siluet pinus yang menyeramkan
Namun hutan yang mengekalkan pohon keteguhanku
Masih menyimpan gaungnya. Dan di tanganmu puisi mengembun
Taman-taman juga cahaya-cahaya megah lainnya bermunculan.
Mari kita rebus keyakinan ini di kamar yang bergolak
Biarkan tubuh telanjang seperti bara Dan pakaian menjadi lelatu keabadian
Berterbangan di langit kayu, sebab bulan kita
Adalah kemabukan dan penyerahan.
Mari kita baker kesunyian ini pada ranjang yang berkobar
Lalu bergulingan sekuat tenaga dan sekemampuan kita.
Tak perlu mengerang atau memintaku membuka dadamu
Sebab atas nama cinta
Puisi telah aku tulis tanpa sperma.
(4)
Aku melihat ada kebun binatang di lubuk matamu
Pohon raksasa tak bernama serta tanaman perdu
Di kedua pahamu. Di ranjang yang berkobar
Senja bertaburan sebesar merica
Lalu kau telanjang menggeliat pada huruf-huruf tak terbaca.
Mengenangmu bulan mengucurkan anggur
Kebungkaman batu menyuguhkan cawan besar
Bagi kemabukan penyair serta para musafir.
Sebab penyerahan menghayati kehidupan Tanpa sepasang pendengaran Sebab penyerahan menikmati kemabukan sendiri
Dari anggur yang sama, langit yang sama,
Dan bulan seadanya.
Mengkaji masalah tokoh dan penokohan dalam puisi tidak semudah mengkaji tokoh pada karya sastra lain, misalnya, pada cerpen, novel dan drama. Pada puisi Pemabuk terdapat empat bagian. Pada bagian pertama terdapat Tokoh Aku dan tokoh kamu. Tokoh aku dalam puisi pemabuk yang dimaksud adalah penyair, yang menggilai terhadap sesuatu, sesuatu itu tentu puisi. Tokoh Aku hadir dengan sisi romantis, idealis, dan realitis, dimana tokoh aku memandang terhadap sesuatu yang dirindukannya dan didambanya dengan sisi romantisnya yaitu “mengenangmu bulan mengucurkan anggur”, bukankah kata-kata itu sebuah rayuan yang romantis, karena anggur lambang kenikmatan. Tokoh “Aku” sebagai orang yang idealistis menggambarkannya dengan “aku menyiapkannya dengan cangkul kata-kata” tokoh aku telah mempersiapkan diri untuk menuju cita-cita yang diinginkan. Tokoh aku sebagai orang yang realistis, dideskripsikan penyair melului liriknya “bagaimana caranya membunuh waktu? Sementara aku belum siap menampung laut yang bergejolak. Tokoh kamu dideskripsikan oleh penyair lewat ungkapan perasaan yang dilontarkan oleh tokoh aku, dimana tokoh kamu sangat berpengaruh terhadap tokoh aku, dan tokoh kamu adalah orang yang berwibawa dan disegani oleh tokoh aku, sehingga sorot mata tokoh “Kamu” mampu membusurkan panah kedalam mimpi si tokoh “Aku”.
Pada bagian kedua puisi “Pemabuk”, penyair menyebut tokoh kita, kita yang dimaksud yaitu tokoh kau dan tokoh aku, yang keduanya bergelut dibidang yang sama, dan latar belakang yang sama dan nasib mereka pun sama. Dengan banyaknya persamaan yang mereka miliki, jadi tokoh kamu dan aku adalah satu perasaan dan keduanya bisa sama-sama saling memahami, saling kerja sama, dan keduanya juga masih sama-sama meragukan akan masa depan bidang yang mereka geluti. Meskipun mereka menghadapinya sama-sama, tetapi masih juga terbesit rasa pesimis dari dalam diri tokoh “kita”.
Pada bagian ketiga puisi “Pemabuk” Tokoh aku muncul dengan rasa optimisme, sehingga mampu meluluskan rasa pesimis yang dideskripsikan penyair pada puisi pemabuk bagian kedua. Begitu optimisnya tokoh aku, sehingga penyair mendeskripsikan sebutir matahari remuk berkeping di dada ini. Semangat yang menggelora nampak menyesaki dada tokoh aku. Tapi, apakah ada keterlibatan tokoh kau, ternyata tokoh kau dan tokoh aku dalam puisi ini tidak bisa dihilangkan salah satunya pada setiap bagian-a bagian puisi tersebut, karena keberadaan kedua tokoh tersebut saling berkaitan untuk membentuk cerita sehingga maksud penyair bisa tersampaikan kepada pembaca melalui karakteristik tokoh-tokohnya.
. Penyair pada puisi ini berdiri sebagai tokoh aku, yang mengakui kelebihan dari tokoh kau, dimana tokoh kau adalah orang yang bertangan dingin dalam hal berkarya, dan di tanganmu puisi mengembun, taman – taman juga cahaya-cahaya megah lainnya bermunculan. Itu merupakan ekspresi kekaguman tokoh aku kepada tokoh kau, penyair tidak memperjelas tokoh kau yang dimaksud itu siapa, Karena ada puisi ini dari awal penyair tidak mencantumkan, bahwa puisi ini ditujukan untuk seseorang. Pada puisinya yang lain, penyair mencantumkan, bahwa puisi yang ditulisnya ditujukan untuk seseorang. Misalnya pada puisinya yang berjudul “ Head Line Sebuah Koran yang Kubaca di Terminal”, puisi tersebut penyair tujukan untuk Qoribulloh. Pada puisinya yang lain yang berjudul “Mendaki Kantung Matamu”, puisi tersebut ditujukan untuk WS. Rendra. Pada puisi Pemabuk, penyair tidak mencantumkan, bahwa sebenarnya puisi ini ditujukan untuk siapa, tapi yang jelas tokoh kau yang dimaksud adalah penyair, keduanya sama-sama bergelut dibidang sastra. Dan keduanya sama-sama menjadi pemabuk kata-kata, dalam hal ini puisi. Lalu keduanya sama-sama menyerahkan diri dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menghasilkan puisi.
Pada bagian keempat, tokoh kau sebagai seseorang yang dikagumi oleh tokoh aku, sehingga setiap gerak-gerik tokoh kau mendapat apresiasi positif dari tokoh aku. Pada puisi ini, penyair memilih tokoh kau sebagai reaksi hubungan social sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pemilihan tokoh pada puisi pemabuk, saya tidak melihat
hubungan timbal-balik antara Pencipta dan ciptaanNya, tetapi saya melihat pada puisi ini terdapat hubungan timbal-balik antara sesama makhluk ciptaan tuhan. Bode Riswandi sebagai penyair sufistik, pada puisinya yang lain, menggunakan tokoh kau sebagai tuhan, seperti pada puisinya yang berjudul ”Seperti Sungai”. Bode riswandi mempersepsi Tuhan melalui batin dalam puisi sufistiknya , sebagaimana dikemukakan bahwa mata yang berhubungan dengan penglihatan memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Ketajaman mata berkaitan dengan ketajaman dengan ketajaman persepsi dan akhirnya dengan ketajaman mata batin (Pamusuk Eneste,1984). Ketajaman mata batin pengarang dalam pemilihan tokoh-tokohnya dan penokohannya dapat memperkuat chemistry antara puisi dengan pembaca.
Pemabuk
(1)
Mengenangmu bulan mengucurkan anggur
Kebungkaman batu menyuguhkan cawan besar
Bagi kemabukan penyair serta para musafir
Aku telah membangun langit ini dan kuhancurkan kembali
Setiap waktu. Bagaiman caranya membunuh waktu?
Sementara aku belum siap menampung gelombang yang bergolak.
Adalah matamu yang membusurkan anak panah itu ke dalam tidurku
Bintang-bintang berjatuhan bagaikan burung namun masih ada
Cahaya lain dari bintang-bintang lain. Bagaimana harus kuremukkan
Kedinginan yang meninggikan pohonan liar dalam hatiku?
Sementara kau masih menyimpan ribuan anak panah
Dan rindu yang menggenang di selakanganmu terus mangalirkan darah.
Pada padi-padi yang kian tumbuh menguning dengan bahasamu
Pada puisi yang menggenang di ladang kesunyian yang subur
Aku menyiapkan cangkul kata-kata
Kemudian meminum Lumpur bersama siput dan belut
Sambil menikmati kemabukan sendiri
Dari anggur yang sama, langit yang sama, dan bulan seadanya.
(2)
Kita telah sama-sama memahami, bahwa langit kita
Terbuatdari kayu yang menyaibkan bulan seadanya.
Kita telah sama-sama menandai langit yang hitam
Walau tak satu pun sebatang hujan kita miliki.
Aku merindukan musim kembali meledak seketika
Merampungkan sepasang daun telinga
Lalu kuhayati segenap kehidupan ini tanpa sepasang pendengaran.
Walau puisi takkan jauh dari kesepian dan kesepian
Selamanya menjadi malam. Meski sama-sama kita sangsikan.
(3)
Aku berteriak, kemabukanku menonjok hingga ke ceruk matahari
Langkahku sempoyongan dan darahku bertambah menyengat
Menjadi perapian bagi kata-kata. Sebutir matahari remuk berkeping
Di dada ini. Langit pun lapang saat kau menandai tanganku
Dengan banyak gigitan.
Aku bertolak mengikuti angin, mengalir seperti sungai
Lalu kulayarkan perahu. Disini pun kau memancangkan tubuhmu
Menjadi mercusuar, padahal aku telah menanti perkelahian.
Perhelatan yang tak terelakkan. Nyanyian yang membosankan.
Juga kemabukkan yang dipetimatikan.
Aku melonglong seperti serigala tanpa bulan
Tanpa bukit dan siluet pinus yang menyeramkan
Namun hutan yang mengekalkan pohon keteguhanku
Masih menyimpan gaungnya. Dan di tanganmu puisi mengembun
Taman-taman juga cahaya-cahaya megah lainnya bermunculan.
Mari kita rebus keyakinan ini di kamar yang bergolak
Biarkan tubuh telanjang seperti bara Dan pakaian menjadi lelatu keabadian
Berterbangan di langit kayu, sebab bulan kita
Adalah kemabukan dan penyerahan.
Mari kita baker kesunyian ini pada ranjang yang berkobar
Lalu bergulingan sekuat tenaga dan sekemampuan kita.
Tak perlu mengerang atau memintaku membuka dadamu
Sebab atas nama cinta
Puisi telah aku tulis tanpa sperma.
(4)
Aku melihat ada kebun binatang di lubuk matamu
Pohon raksasa tak bernama serta tanaman perdu
Di kedua pahamu. Di ranjang yang berkobar
Senja bertaburan sebesar merica
Lalu kau telanjang menggeliat pada huruf-huruf tak terbaca.
Mengenangmu bulan mengucurkan anggur
Kebungkaman batu menyuguhkan cawan besar
Bagi kemabukan penyair serta para musafir.
Sebab penyerahan menghayati kehidupan Tanpa sepasang pendengaran Sebab penyerahan menikmati kemabukan sendiri
Dari anggur yang sama, langit yang sama,
Dan bulan seadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar