BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa yang digunakan para jurnalis dan penulis bisa sama, tetapi gayanya pasti berlainan. Setiap penulis atau jurnalis, niscaya memiliki gaya bahasa masing-masing yang membedakan dirinya dengan penulis atau jurnalis lain. Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Gaya Bahasa adalah Pemakaian kata – kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk melukiskan sesuatu maksud tanpa untuk membentuk plastik bahasa. Yang dimaksud plastic bahasa adalah Daya cipta pengarang dalam membuat cipta sastra dengan mengemukakan pemilihan kata yang tepat .
Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam pengertian secara kalamiah saja (Warrier, 1979:602). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 2004:113). Kejujuran dalam bahasa tulis, berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Sopan-santun adalah menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendenagr tatau pembaca, menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal(imajinatif).
Seorang jurnalis pada dasarnya seorang penulis, tetapi seorang penulis belum tentu seorang jurnalis. Seorang jurnalis berkualitas, dituntut tidak saja menguasai teknik jurnalistik seperti aspek-aspek peliputan, tetapi juga diisyaratkan menguasai teknik dan aspek-aspek penulisan. Secara umum, gaya bahasa terdiri atas empat bagian besar yaitu: gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Akan tetapi dalam makalah ini hanya membahas mengenai gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan.Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Gaya bahasa perbandingan yang mengganti suatu pengertian dengan kata lain yang hampir sama artinya dengan maksud untuk menghindarkan pantang atau sopan santun. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34).
Menurut Tarigan, gaya bahasa pertentangan semuanya terdiri atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran
2. Bagi perbandingan dan pebaca, sebagai media informasi mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran.
3. Bagi pihak Media Indonesia, sebagai bahan pertimbangan mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan yang digunakan dalam koran Media Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gaya bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34). Berikut ini penjelasaan mengenai sepuluh gaya bahasa tersebut.
1. Perumpamaan
Gaya bahasa perumpamaan yaitu membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsure-unsur persamaan di antara keduanya. Dalam bahasa Latin, perumpamaan disebut simile yang berarti seperti. Para jurnalis hanya dapat menggunakan gaya bahasa perumpamaan ini ketika menulis tajuk rencana, artikel, kolom, berbagai jenis cerita khas berwara (feature), cataatan perjalanan, atau pelaporan mendalam (depth reporting). Gaya bahasa perumpamaan tidak boleh digunakan pada laporan jenis berita langsung (straight news) karena menurut kaidah jurnalistik, gaya bahasa jenis ini termasuk subjektif. Etika dasar jurnalistik mengajarkan, seorang jurnalis tidak boleh bersikap subjektif dalam berita yang ditulisnya. Ia harus objektif, sikap objektif tidak hanya tampak pada materi isinya tetapi juag harus terlihat jelas pada susunan katanya. Contoh: Penjahat itu licin seperti belut, rakus seperti monyet.
2. Metafora
Secara etimologis, metafora berasal dari bahasa Yunani yaitu metaphore (meta: di atas dan pherein: membawa). Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Metafora adalah jenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, dan tersusun rapi. Di dalamnya terdapat dua gagasan. Gagasan yang pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan yang kedua merupakan pembanding terhadap kenyataan pertama tersebut (Tarigan, 1983:141;1985:183). Pada metafora kata-kata penyebut yang secara eksplisit menunjukkan adanya perbandingan yakni bagai, bak, ibarat, seperti, laksana sengaja tidak dimunculkan. Seorang penulis taau jurnalis dianjurkan untuk sesekali menggunakan metafora secara fungsional dan variatif dalam karya-karya seperti pada artikel, pojok, karikatur, dan cerita khas berwarna (feature). Contohnya: anak emas, buah bibir, dan lain-lain.
3. Personifikasi
Secara etimologis, personifikasi berasal dari bahasa latin. Persona yang berarti orang, pemain, pelaku, subjek, atau topeng dalam permainan drama dan sandiwara. Menurut Edgar Dale, dengan gaya bahasa personifikasi kita memberikan cirri-ciri atau kualitas pribadi seseorang kepada gagasan atau benda-benda tidak bernyawasehingga benda-benda tidak bernyawa itu seolah-olah enjadi hidup atau bernyawa seperti layaknya manusia (Dale, 197:221). Personifikasi lebh tepat digunakan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya soft news. Seorang jurnalis surat kabar harian menggunakn personifikasi secara terbatas, kecuali pada artikel, kolom, pojok, karikatur, lapoan perjalanan, dan cerita khas berwarna (feature), dan sesekali pada teks foto. Contoh gaya bahasa personifikasi yaitu: Mentari menciumi tubuh gadis itu.
4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa, sebagai benda mati yang kaku beku. Gay bahasa ini dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menunjukkan situasi, posisi, atau kondisi seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu hal yang sifatnya pasif. Seorang jurnalis dianjurkan sering menggunakan dpersonifikasi untuk melaoprkan realitas kehidupan yang sarat dengan unsure ironi, paradoks, tragedi, dan bencana yang kerap dating silih berganti. Melaui deperonifikasi seorang jurnalis dapat melukiskan ksiah-kisah ironis , tragis secara lebuh tajam. Efek psikologis yang ditimbulkannya pada khalayak niscaya sangat dalam, sehingga khalayak bisa terkuras air matanya. Contohnya: Dari tadi kakek tua itu mematung.
5. Alegori
Alegori berasal dari bahasa Yunani, allegorein yang berarti bicara secara kias atau bicara menggunakna kias. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dengn lambing-lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambnagkan. Alegori biasanya mengandung lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisi atau prosa. Fable adalah sejenis alegori yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia (Tarigan, 1985:24). Alegori sering kita temukan dalam bahasa jurnalistik majalah remaja dan majalah anak-anak , misalnya kisah buaya yang tamak. Tujuannya lebih banyak bersifat persuasive dan edukatif daripada argumentative dan korektif.
6. Antitesis
Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1976:52). Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonym yaitu kata-kata yang mengandung cirri-ciri semantic yang bertentangan (Ducrot dan Todorov, 1981:277 dalam Tarigan, 1985:27). Antitesis termasuk salah satu gaya bahasa andalan dalam dunia jurnalistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya factual menajadi seolah-olh karya fiksi yang sifatnya imajisional. Contoh: Dia bersukacita kalau aku dipenjara.
7. Pleonasme dan Tautologi
Pleonasme adalah pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761). Pleonasme disebut juga penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas. Sedangkan tautologi adalah penegasan terhadap suatu hal yang mengandung unsure perulangan tetapi dengan menggunakan kata-kata yang lain. Bahasa jurnalistik tidak menyukai pleonasme dan tautology karena keduany bertentangan dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.
Contoh pleonasme: Dia mendengar istrinya telah berselingkuh dengan sopir truk dengan telinganya sendiri.
Contoh tautologi: darah merah itulah yang melumuri wajahnya.
8. Perifrasis
Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip denga pleonasme. Kedua-duanya mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada gaya bahasa periphrasis, kat-kata ynag berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Keraf, 20004:134). Bahasa jurnalistik menekankan, periphrasis tidak cocok digunakan untuk berbagai karya yang ditulis oleh para jurnalis Karena sarat dengan unsure pemborosan kata. Kaluapun terpaksa hanya dipakai sesekali saja. Contoh: Wartawan olahraga itu mengakhiri masa lajangnya (menikah).
9. Antisipasi (Prolepsis)
Kata antisipasi berasal dari bahasa latin anticipation yang berarti mendahului atau penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234). Pemakaian antisipasi banyak ditemukan dalam jurnalistik olahraga misalnya sepak bola, tidak hanya menampilkan berita pertandingan, tetapi juga mengungkap banyak aspek lain yang menyertainya. Antisipasi juga tidak jarang kita temukan dalam jurnalistik criminal. Contoh: Tiga hari sebelumnya, gadis malang itu masih sempat singgah ke salon dekat rumah untuk potong rambut.
10. Koreksio (Epanortosis)
Koreksio atau epanortosis adalah gaya bahasa yang berwujud semula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaikinya mana yang salah (Tarigan, 1985:34-35). Bahasa jurnalistik tidak melarang penggunaan koreksio. Gaya bahasa jenis ini sesekali bahkan dianjurkan dipakai sebagaii bentuk variasi kalimat sekaligus menghindari kejenuhan. Contoh: Ia mengaku keturunan raja karet, oh bukan, keturunan raja kepepet!
2.2 Gaya Bahasa Pertentangan
gaya bahasa pertentangan yaitu membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan, gaya bahsa pertentangan semuanya terdiri atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
1. Hiperbola
Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pertanyaan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frasa, atau kalimat (Tarigan, 1985:55). Seorang penulis atau jurnalis disarankanuntuk lebih berhati-hati menggunakan hiperbola. Jika tidak, bukan informasi akurat yang disampaiakn kepada khalayak, melainkan justru penjelasan yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Seorang jurnalis tetap harus bersikap objektif, akurat, dan berimbang. Contoh: Jakarta nyaris tenggelam dilanda banjir.
2. Litotes
Litotes berasal dari bahasa Yunani yaitu litos yang berarti sederhana, litotes adalah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan atau pernyataan yang sebenarnya (Moeliono, 1984:3). Contoh: Jika ada waktu singgahlah di gubuk saya (padahal rumahnya seperti istana).
3. Ironi
Ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara suasana ya g diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya, dan (c) ketaksesuaian antara harapan dan kenyataan (Moeliono, 1984:3). Dalam perspektif bahasa jurnalistik, ironi umumnya digunakan sebagai salah satu bentuk pemenuhan fungsi koreksi (social control) media massa sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang. Contoh: Bandung adalah kota kembang yang penuh sampah.
4. Oksimoron
Kata oksimoron berasal dari bahasa latin okys dan moros yang berarti gila (Tarigan, 1985:63). Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegakkan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim (Ducrot dan Todorov, 1981:278). Dalam perspektif bahasa jurnalistik, oksimoron bisa digunakan untuk mengingatkan tentang berbagai pilihan yang dapt ditempuh masyarakat. Pada akhirnya, pilihan apapun yang diambil masyarakat, pasti ada konsekuensi dan resikonya. Secara filosofis, oksimoron mengajarkan masyarakat untuk mengembangkan sikap tanggungjawab dan kemandirian. Contoh: Terjun payung adalah olahraga beresiko kematian.
5. Satire
Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi bermacam-macam buah-buahan. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusa. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis dan etestis (Keraf,1985:144;2004:144). Aksi aksi unjuk rasa yang sering kita dengar dan lihat di berbagai kota besar di Indonesia seama ini, sarat dengan muatan satire. Misalnya, pengusungan keranda jenazah sebagai simbol kematian demokrasi; atau pembakaran papan nama suatu perusahaan karena perusahaan itu dianggap telah gagal melindungi dan menyejahterakan pekerja. Satire bisa juga ditampilkan dalam bentuk tulisan , seperti: mari kita belajar jadi koruptor yang dermawan; Indonesia surga narkoba; ajari kami cara menipu rakyat. Satire, memang sarat dengan nuansa protes sosial. Jurnalis tidak boleh terpaku pada satire. Jurnalis harus melakukan berbagai konfirmasi.
6. Inuendo
Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil lalu saja (Keraf, 1985: 144; 2004;144). Secara ideologis dan sosiologis, media massa di Indonesia sangat menyukai innuendo. Dengan innuendo, orang atau pihak-pihak terkena sasaran kritik tidaka akan tersinggung atau merasa dipermalukan di depan umum. Mereka menerima kritik media massa dengan lapang dada karena kritik yang dilontarkan dianggap rasional dan proporsional. Ineundo memng salah satu jenis bahasa yang lebih menonjolkan aspek rasional. Para jurnalis kita sejak dini diajarkan untuk menggunakan innuendo. Contoh: Pidatonya disambut dingin karena tidak menyinggung kenaikan gaji.
7. Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makan kebalikannya. Bila diketahui yang hadir adalah seorang yang kurus, lalu dikatakan si gendut telah hadir, maka jelas gaya bahasa tersebut antifrasis (Tarigan, 1985:75). Antifrasis termasuk jenis gaya bahasa murni karena membicarakan suatu keadaan yang berlaku sebaliknya dari apa yang dikatakan. Pada dunia atau kelompok-kelompok masyarakat yang sarta dengan konflik, antifrasis tumbuh subur. Setisp orsng bshksn cenderung untuk memunculkan antifrasis versinya sendiri. Bahasa jurnalistik sebaliknya tidak terjebak dalam iklim dan kecenderungan demikian . Seorang jurnalis dibekali perangkat moral dan rujukan professional untuk tetap bersikap objektif, berimbang, netral.Contoh: Inilah pahlawan kita (padahal pengkhianat).
8. Paradoks
Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimanapun diartikan selalu berakhir dengan pertentangan (Shadily, 1984:2552). Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 1985:136: 2004:136). Dengan paradox, penulis atau jurnalis dapat menunjukkan dengan tegas, betapa tokoh, subjek cerita, atau narasumber yang dikisahkan benar-benar sedang menghadapi keadaan atau tekanan tertentu, baik secara psikologis maupun sosiologis. Contoh: Mantan pejabat itu merasa bahagia setelah masuk penjara.
9. Klimaks
Kata klimaks berasal dari bahasa Yunani klimax yang berarti tangga Klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makinlama makin mengandung penekanan, kebalikannya adalah antiklimaks (Shadily, 1984: 1795). Klimaks menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis. Klimaks berbicara dari yang terbawah sampai tertinggi atau titik puncak, dari awal sampai akhir. Klimaks kerap ditemukan pada karya cerita khas berwarna (feature) yang mengandung unsure kejutan, misteri, dan petualangan. Contoh: Datang, berjuang, menang.
10. Antiklimaks
Antiklimaks adalah kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Sebagai gaya bahasa, antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks dapat digunakan sebagai suatu istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut, yaitu dekrementum, katabasis, dan batos. Dekrementum adalah semacam antiklimaks yang berwujud menambah gagasan yang kurang pentig pada suatu gagasan yang penting. Katabasis adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengurutkan sejumlah gagasan yang semakin kurang penting. Batos adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengandung penukikan tiba-tiba dari suatu gagasan yang sangat penting ke suatu gagasan yang sama sekali tidak penting (Tarigan, 195:81-82). Contoh dekrementum: Rektor mengingatkan gelar sarjana yang diraih akan sangat penting maknanya apabila sejak esik haripara wisudawan tak bertopang dagu di atas teras. Contoh katabasis: Kampanye gerakan hidup sehat itu diikuti para manula, dewasa, remaja, anak-anak, dan bahkan balita. Contoh batos: Dia dikenal sebagi jenderal penembak jitu, hidup dibawah ketiak isteri pula.
11. Sinisme
Sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya (Tarigan, 1985:91). Prinsip jurnalistik tidaklah dibangun di atas pijkan sinisme tetapi justru di atas landasan realism. Betapapun demikian bahsa jurnalistik kaya kata dan nuansa. Selain itu, bahsa jurnalistik tidak lepas dari fungsi koreksi yang melekat dalam dirinya. Secara fungsional dan kontekstual, penulis atau jurnalis perlu menggunakan sinisme ketika menyajikan karya-karya jurnalistik yang bersifat korektif. Sinisme terutama dapat dituangkan dalam tajuk rencana, pojok, karikatur, artikel, kolom, surat pembaca, dan aneka jenis kartun. Contoh: Apa yang tidak bisa anda beli? Jangankan mobil dan rumah mewah, istri orang lain pun anda sikat. Bahkan Negara ini besok lusa jadi milik anda. Kalau mau, anda juga bisa menyebut diri sebagai Tuhan.
12. Sarkasme
Kata sarkasme berasal dari Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti merobek-robek daging seperti anjing, menggigit karena mara, atau bicara dengan kepahitan (Keraf, 1985:144:2004:144). Ciri utama gaya bahas sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92). Dalam perspektif jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menunjukkan kaidah normative pada bidaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan social-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikitr logis-etis tetapi lebih suka mengembangkan cara cara sikap dan perilaku sadis anarkis.
Bahasa jurnalis tunduk pada kaidah etis. Jadi, bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. Redaktur atau edotor media massa, harus mewaspadai kemungkinan lolosnya sarkasme dalam karya-karya yang ditulis para penulisatau jurnalis. Redaktur harus menyadari, sarkasme pada bahasa jurnalistik, bisa muncul dari banyak pintu. Bisa melalui kalimat kutipan atau ucapan langsung, bisa pula melalui kaliamat berita atau pelaporan yang ditulis para jurnalis. Contoh sarkasme kutipan: Kau bisa jadi ketua tapi langkahi dulu mayatku. Contoh sarkasme pelaporan: Kejaksaan kini memeriksa lima koruptor yang sangat terkutuk dan penuh laknat itu.
2.3 Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan pada Koran Media Indonesia
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa perbandingan. Adapun gaya bahasa perbandingan yang digunakan yaitu sebagai berikut:
1. Perumpamaan
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, digunakan gaya bahasa perumpamaan, yaitu: Amerika Serikat bagaikan polisi dunia. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa perumpamaan karena membandingkan dua hal yang berbeda, sehingga dianggap memiliki unsure-unsur persamaan diantara keduanya.
2. Pleonasme
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa pleonasme, yaitu: Tidak hanya itu. Seperti tidak mau kalah, pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur, pun membuat kejutan. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa pleonasme karena terdapat pemakaian kata kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761).
3. Antisipasi (Prolepsis)
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, terdapat penggunaan gaya bahasa antisipsi, yaitu: Hari ini H-3 menjelang ajang pesta olahraga bergengsi ke-26 bagi Negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau SEA games XXVI. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa antisipasi karena menyatakan penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234).
2.4 Penggunaan Gaya Bahasa Pertentangan pada Koran Media Indonesia
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa pertentangan. Adapun gaya bahasa pertentangan yang digunakan yaitu sebagai berikut:
1. Ironi
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa Ironi, yaitu: Semakin rajin saja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah membebaskan terdakwa korupsi. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa ironi karena menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok.
2. Inuendo
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa Inuendo, yaitu: Banyak lembaga dibuat, banyak satgas dibentuk, tetapi sekedar menjadi aksesoris. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa innuendo karena menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil alua saja (Keraf, 1985: 144; 2004:144).
3. Klimaks
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, terdapat penggunaan gaya bahasa klimaks, yaitu: kita semua tahu capaian prestasi olahraga hanya bisa diperoleh dengan usaha sungguh-sungguh, tahapan pembinaan yang benar, program latihan terencana, konsisten, dan berkesinambungan. Dan apalagi setelah enam kali partisipasi, sejak SEA Games ke-20 1999 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, hingga SEA Games ke-25 2009 di Vientiane, Laos, Indonesia tak pernah lagi jadi juara umum. Kedua contoh tersebut merupkan gaya bahasa klimaks karena menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34).
gaya bahasa pertentangan yaitu membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan, gaya bahsa pertentangan semuanya terdiri atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa perbandingan. Adapun gaya bahasa perbandingan yang digunakan yaitu perumpamaan, pleonasme, antisipasi. Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa pertentangan. Adapun gaya bahasa pertentangan yang digunakan yaitu ironi, innuendo, dan klimaks.
3.2 Saran
Setelah membahas mengenai Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan dan Pertentangan dalam koran Media Indonesia Edisi: 08 November 2011. Penulis menyarankan agar pihak jurnalistik Media Indonesia lebih kreatif dalam memilih dan memilah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam berita utama maupun berita opini, karena penggunaan gaya bahasa cenderung singkat dan hemat, tentu saja menghindari penggunaan kata-kata yang tidak perlu atau mubadzir.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Gunawan. 2008. Uraian Sederhana Tentang Gaya Bahasa atau Majas. Penerbit:Indonesis Tera Anggota IKAPI.
Djuharie, O. Setiawan. 2005. Panduan Membuat Karya Tulis. Bandung: Yrama Widya.
Danririsbastin.wordpress.com/2011/04/13/jenis-jenis-gaya-bahasa.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa yang digunakan para jurnalis dan penulis bisa sama, tetapi gayanya pasti berlainan. Setiap penulis atau jurnalis, niscaya memiliki gaya bahasa masing-masing yang membedakan dirinya dengan penulis atau jurnalis lain. Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Gaya Bahasa adalah Pemakaian kata – kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk melukiskan sesuatu maksud tanpa untuk membentuk plastik bahasa. Yang dimaksud plastic bahasa adalah Daya cipta pengarang dalam membuat cipta sastra dengan mengemukakan pemilihan kata yang tepat .
Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam pengertian secara kalamiah saja (Warrier, 1979:602). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 2004:113). Kejujuran dalam bahasa tulis, berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Sopan-santun adalah menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendenagr tatau pembaca, menarik dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal(imajinatif).
Seorang jurnalis pada dasarnya seorang penulis, tetapi seorang penulis belum tentu seorang jurnalis. Seorang jurnalis berkualitas, dituntut tidak saja menguasai teknik jurnalistik seperti aspek-aspek peliputan, tetapi juga diisyaratkan menguasai teknik dan aspek-aspek penulisan. Secara umum, gaya bahasa terdiri atas empat bagian besar yaitu: gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Akan tetapi dalam makalah ini hanya membahas mengenai gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan.Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Gaya bahasa perbandingan yang mengganti suatu pengertian dengan kata lain yang hampir sama artinya dengan maksud untuk menghindarkan pantang atau sopan santun. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34).
Menurut Tarigan, gaya bahasa pertentangan semuanya terdiri atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa perbandingan dan gaya bahasa pertentangan dalam kolom berita utama dan kolom opini pada Koran Media Indonesia, edisi Selasa, 08 November 2011, halaman 6-13.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran
2. Bagi perbandingan dan pebaca, sebagai media informasi mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam koran.
3. Bagi pihak Media Indonesia, sebagai bahan pertimbangan mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan yang digunakan dalam koran Media Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gaya bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34). Berikut ini penjelasaan mengenai sepuluh gaya bahasa tersebut.
1. Perumpamaan
Gaya bahasa perumpamaan yaitu membandingkan dua hal yang berbeda sehingga dianggap memiliki unsure-unsur persamaan di antara keduanya. Dalam bahasa Latin, perumpamaan disebut simile yang berarti seperti. Para jurnalis hanya dapat menggunakan gaya bahasa perumpamaan ini ketika menulis tajuk rencana, artikel, kolom, berbagai jenis cerita khas berwara (feature), cataatan perjalanan, atau pelaporan mendalam (depth reporting). Gaya bahasa perumpamaan tidak boleh digunakan pada laporan jenis berita langsung (straight news) karena menurut kaidah jurnalistik, gaya bahasa jenis ini termasuk subjektif. Etika dasar jurnalistik mengajarkan, seorang jurnalis tidak boleh bersikap subjektif dalam berita yang ditulisnya. Ia harus objektif, sikap objektif tidak hanya tampak pada materi isinya tetapi juag harus terlihat jelas pada susunan katanya. Contoh: Penjahat itu licin seperti belut, rakus seperti monyet.
2. Metafora
Secara etimologis, metafora berasal dari bahasa Yunani yaitu metaphore (meta: di atas dan pherein: membawa). Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta, 1976:648). Metafora adalah jenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, dan tersusun rapi. Di dalamnya terdapat dua gagasan. Gagasan yang pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang menjadi objek. Gagasan yang kedua merupakan pembanding terhadap kenyataan pertama tersebut (Tarigan, 1983:141;1985:183). Pada metafora kata-kata penyebut yang secara eksplisit menunjukkan adanya perbandingan yakni bagai, bak, ibarat, seperti, laksana sengaja tidak dimunculkan. Seorang penulis taau jurnalis dianjurkan untuk sesekali menggunakan metafora secara fungsional dan variatif dalam karya-karya seperti pada artikel, pojok, karikatur, dan cerita khas berwarna (feature). Contohnya: anak emas, buah bibir, dan lain-lain.
3. Personifikasi
Secara etimologis, personifikasi berasal dari bahasa latin. Persona yang berarti orang, pemain, pelaku, subjek, atau topeng dalam permainan drama dan sandiwara. Menurut Edgar Dale, dengan gaya bahasa personifikasi kita memberikan cirri-ciri atau kualitas pribadi seseorang kepada gagasan atau benda-benda tidak bernyawasehingga benda-benda tidak bernyawa itu seolah-olah enjadi hidup atau bernyawa seperti layaknya manusia (Dale, 197:221). Personifikasi lebh tepat digunakan untuk karya-karya jurnalistik yang sifatnya soft news. Seorang jurnalis surat kabar harian menggunakn personifikasi secara terbatas, kecuali pada artikel, kolom, pojok, karikatur, lapoan perjalanan, dan cerita khas berwarna (feature), dan sesekali pada teks foto. Contoh gaya bahasa personifikasi yaitu: Mentari menciumi tubuh gadis itu.
4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Depersonifikasi mengandaikan manusia atau segala hal yang hidup, bernyawa, sebagai benda mati yang kaku beku. Gay bahasa ini dalam bahasa jurnalistik digunakan terutama untuk menunjukkan situasi, posisi, atau kondisi seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu hal yang sifatnya pasif. Seorang jurnalis dianjurkan sering menggunakan dpersonifikasi untuk melaoprkan realitas kehidupan yang sarat dengan unsure ironi, paradoks, tragedi, dan bencana yang kerap dating silih berganti. Melaui deperonifikasi seorang jurnalis dapat melukiskan ksiah-kisah ironis , tragis secara lebuh tajam. Efek psikologis yang ditimbulkannya pada khalayak niscaya sangat dalam, sehingga khalayak bisa terkuras air matanya. Contohnya: Dari tadi kakek tua itu mematung.
5. Alegori
Alegori berasal dari bahasa Yunani, allegorein yang berarti bicara secara kias atau bicara menggunakna kias. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dengn lambing-lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambnagkan. Alegori biasanya mengandung lambang, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambangkan. Alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spiritual manusia. Alegori dapat berbentuk puisi atau prosa. Fable adalah sejenis alegori yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingkah laku seperti manusia (Tarigan, 1985:24). Alegori sering kita temukan dalam bahasa jurnalistik majalah remaja dan majalah anak-anak , misalnya kisah buaya yang tamak. Tujuannya lebih banyak bersifat persuasive dan edukatif daripada argumentative dan korektif.
6. Antitesis
Antitesis berarti lawan yang tepat atau pertentangan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1976:52). Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan perbandingan antara dua antonym yaitu kata-kata yang mengandung cirri-ciri semantic yang bertentangan (Ducrot dan Todorov, 1981:277 dalam Tarigan, 1985:27). Antitesis termasuk salah satu gaya bahasa andalan dalam dunia jurnalistik sastra. Antitesis membuat laporan jurnalistik yang sifatnya factual menajadi seolah-olh karya fiksi yang sifatnya imajisional. Contoh: Dia bersukacita kalau aku dipenjara.
7. Pleonasme dan Tautologi
Pleonasme adalah pemakaian kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761). Pleonasme disebut juga penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas. Sedangkan tautologi adalah penegasan terhadap suatu hal yang mengandung unsure perulangan tetapi dengan menggunakan kata-kata yang lain. Bahasa jurnalistik tidak menyukai pleonasme dan tautology karena keduany bertentangan dengan prinsip keringkasan dan kelugasan.
Contoh pleonasme: Dia mendengar istrinya telah berselingkuh dengan sopir truk dengan telinganya sendiri.
Contoh tautologi: darah merah itulah yang melumuri wajahnya.
8. Perifrasis
Perifrasis adalah sejenis gaya bahasa yang agak mirip denga pleonasme. Kedua-duanya mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada gaya bahasa periphrasis, kat-kata ynag berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Keraf, 20004:134). Bahasa jurnalistik menekankan, periphrasis tidak cocok digunakan untuk berbagai karya yang ditulis oleh para jurnalis Karena sarat dengan unsure pemborosan kata. Kaluapun terpaksa hanya dipakai sesekali saja. Contoh: Wartawan olahraga itu mengakhiri masa lajangnya (menikah).
9. Antisipasi (Prolepsis)
Kata antisipasi berasal dari bahasa latin anticipation yang berarti mendahului atau penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234). Pemakaian antisipasi banyak ditemukan dalam jurnalistik olahraga misalnya sepak bola, tidak hanya menampilkan berita pertandingan, tetapi juga mengungkap banyak aspek lain yang menyertainya. Antisipasi juga tidak jarang kita temukan dalam jurnalistik criminal. Contoh: Tiga hari sebelumnya, gadis malang itu masih sempat singgah ke salon dekat rumah untuk potong rambut.
10. Koreksio (Epanortosis)
Koreksio atau epanortosis adalah gaya bahasa yang berwujud semula ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memeriksa dan memperbaikinya mana yang salah (Tarigan, 1985:34-35). Bahasa jurnalistik tidak melarang penggunaan koreksio. Gaya bahasa jenis ini sesekali bahkan dianjurkan dipakai sebagaii bentuk variasi kalimat sekaligus menghindari kejenuhan. Contoh: Ia mengaku keturunan raja karet, oh bukan, keturunan raja kepepet!
2.2 Gaya Bahasa Pertentangan
gaya bahasa pertentangan yaitu membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan, gaya bahsa pertentangan semuanya terdiri atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
1. Hiperbola
Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pertanyaan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frasa, atau kalimat (Tarigan, 1985:55). Seorang penulis atau jurnalis disarankanuntuk lebih berhati-hati menggunakan hiperbola. Jika tidak, bukan informasi akurat yang disampaiakn kepada khalayak, melainkan justru penjelasan yang serba samar dan bahkan cenderung menyesatkan. Seorang jurnalis tetap harus bersikap objektif, akurat, dan berimbang. Contoh: Jakarta nyaris tenggelam dilanda banjir.
2. Litotes
Litotes berasal dari bahasa Yunani yaitu litos yang berarti sederhana, litotes adalah majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan atau pernyataan yang sebenarnya (Moeliono, 1984:3). Contoh: Jika ada waktu singgahlah di gubuk saya (padahal rumahnya seperti istana).
3. Ironi
Ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Maksud ini dapat dicapai dengan mengemukakan tiga hal: (a) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (b) ketaksesuaian antara suasana ya g diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya, dan (c) ketaksesuaian antara harapan dan kenyataan (Moeliono, 1984:3). Dalam perspektif bahasa jurnalistik, ironi umumnya digunakan sebagai salah satu bentuk pemenuhan fungsi koreksi (social control) media massa sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang. Contoh: Bandung adalah kota kembang yang penuh sampah.
4. Oksimoron
Kata oksimoron berasal dari bahasa latin okys dan moros yang berarti gila (Tarigan, 1985:63). Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegakkan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim (Ducrot dan Todorov, 1981:278). Dalam perspektif bahasa jurnalistik, oksimoron bisa digunakan untuk mengingatkan tentang berbagai pilihan yang dapt ditempuh masyarakat. Pada akhirnya, pilihan apapun yang diambil masyarakat, pasti ada konsekuensi dan resikonya. Secara filosofis, oksimoron mengajarkan masyarakat untuk mengembangkan sikap tanggungjawab dan kemandirian. Contoh: Terjun payung adalah olahraga beresiko kematian.
5. Satire
Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi bermacam-macam buah-buahan. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusa. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis dan etestis (Keraf,1985:144;2004:144). Aksi aksi unjuk rasa yang sering kita dengar dan lihat di berbagai kota besar di Indonesia seama ini, sarat dengan muatan satire. Misalnya, pengusungan keranda jenazah sebagai simbol kematian demokrasi; atau pembakaran papan nama suatu perusahaan karena perusahaan itu dianggap telah gagal melindungi dan menyejahterakan pekerja. Satire bisa juga ditampilkan dalam bentuk tulisan , seperti: mari kita belajar jadi koruptor yang dermawan; Indonesia surga narkoba; ajari kami cara menipu rakyat. Satire, memang sarat dengan nuansa protes sosial. Jurnalis tidak boleh terpaku pada satire. Jurnalis harus melakukan berbagai konfirmasi.
6. Inuendo
Inuendo adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil lalu saja (Keraf, 1985: 144; 2004;144). Secara ideologis dan sosiologis, media massa di Indonesia sangat menyukai innuendo. Dengan innuendo, orang atau pihak-pihak terkena sasaran kritik tidaka akan tersinggung atau merasa dipermalukan di depan umum. Mereka menerima kritik media massa dengan lapang dada karena kritik yang dilontarkan dianggap rasional dan proporsional. Ineundo memng salah satu jenis bahasa yang lebih menonjolkan aspek rasional. Para jurnalis kita sejak dini diajarkan untuk menggunakan innuendo. Contoh: Pidatonya disambut dingin karena tidak menyinggung kenaikan gaji.
7. Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makan kebalikannya. Bila diketahui yang hadir adalah seorang yang kurus, lalu dikatakan si gendut telah hadir, maka jelas gaya bahasa tersebut antifrasis (Tarigan, 1985:75). Antifrasis termasuk jenis gaya bahasa murni karena membicarakan suatu keadaan yang berlaku sebaliknya dari apa yang dikatakan. Pada dunia atau kelompok-kelompok masyarakat yang sarta dengan konflik, antifrasis tumbuh subur. Setisp orsng bshksn cenderung untuk memunculkan antifrasis versinya sendiri. Bahasa jurnalistik sebaliknya tidak terjebak dalam iklim dan kecenderungan demikian . Seorang jurnalis dibekali perangkat moral dan rujukan professional untuk tetap bersikap objektif, berimbang, netral.Contoh: Inilah pahlawan kita (padahal pengkhianat).
8. Paradoks
Paradoks adalah suatu pernyataan yang bagaimanapun diartikan selalu berakhir dengan pertentangan (Shadily, 1984:2552). Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 1985:136: 2004:136). Dengan paradox, penulis atau jurnalis dapat menunjukkan dengan tegas, betapa tokoh, subjek cerita, atau narasumber yang dikisahkan benar-benar sedang menghadapi keadaan atau tekanan tertentu, baik secara psikologis maupun sosiologis. Contoh: Mantan pejabat itu merasa bahagia setelah masuk penjara.
9. Klimaks
Kata klimaks berasal dari bahasa Yunani klimax yang berarti tangga Klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makinlama makin mengandung penekanan, kebalikannya adalah antiklimaks (Shadily, 1984: 1795). Klimaks menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis. Klimaks berbicara dari yang terbawah sampai tertinggi atau titik puncak, dari awal sampai akhir. Klimaks kerap ditemukan pada karya cerita khas berwarna (feature) yang mengandung unsure kejutan, misteri, dan petualangan. Contoh: Datang, berjuang, menang.
10. Antiklimaks
Antiklimaks adalah kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Sebagai gaya bahasa, antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks dapat digunakan sebagai suatu istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut, yaitu dekrementum, katabasis, dan batos. Dekrementum adalah semacam antiklimaks yang berwujud menambah gagasan yang kurang pentig pada suatu gagasan yang penting. Katabasis adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengurutkan sejumlah gagasan yang semakin kurang penting. Batos adalah sejenis gaya bahasa antiklimaks yang mengandung penukikan tiba-tiba dari suatu gagasan yang sangat penting ke suatu gagasan yang sama sekali tidak penting (Tarigan, 195:81-82). Contoh dekrementum: Rektor mengingatkan gelar sarjana yang diraih akan sangat penting maknanya apabila sejak esik haripara wisudawan tak bertopang dagu di atas teras. Contoh katabasis: Kampanye gerakan hidup sehat itu diikuti para manula, dewasa, remaja, anak-anak, dan bahkan balita. Contoh batos: Dia dikenal sebagi jenderal penembak jitu, hidup dibawah ketiak isteri pula.
11. Sinisme
Sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya. Namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya (Tarigan, 1985:91). Prinsip jurnalistik tidaklah dibangun di atas pijkan sinisme tetapi justru di atas landasan realism. Betapapun demikian bahsa jurnalistik kaya kata dan nuansa. Selain itu, bahsa jurnalistik tidak lepas dari fungsi koreksi yang melekat dalam dirinya. Secara fungsional dan kontekstual, penulis atau jurnalis perlu menggunakan sinisme ketika menyajikan karya-karya jurnalistik yang bersifat korektif. Sinisme terutama dapat dituangkan dalam tajuk rencana, pojok, karikatur, artikel, kolom, surat pembaca, dan aneka jenis kartun. Contoh: Apa yang tidak bisa anda beli? Jangankan mobil dan rumah mewah, istri orang lain pun anda sikat. Bahkan Negara ini besok lusa jadi milik anda. Kalau mau, anda juga bisa menyebut diri sebagai Tuhan.
12. Sarkasme
Kata sarkasme berasal dari Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti merobek-robek daging seperti anjing, menggigit karena mara, atau bicara dengan kepahitan (Keraf, 1985:144:2004:144). Ciri utama gaya bahas sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92). Dalam perspektif jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menunjukkan kaidah normative pada bidaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan social-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikitr logis-etis tetapi lebih suka mengembangkan cara cara sikap dan perilaku sadis anarkis.
Bahasa jurnalis tunduk pada kaidah etis. Jadi, bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. Redaktur atau edotor media massa, harus mewaspadai kemungkinan lolosnya sarkasme dalam karya-karya yang ditulis para penulisatau jurnalis. Redaktur harus menyadari, sarkasme pada bahasa jurnalistik, bisa muncul dari banyak pintu. Bisa melalui kalimat kutipan atau ucapan langsung, bisa pula melalui kaliamat berita atau pelaporan yang ditulis para jurnalis. Contoh sarkasme kutipan: Kau bisa jadi ketua tapi langkahi dulu mayatku. Contoh sarkasme pelaporan: Kejaksaan kini memeriksa lima koruptor yang sangat terkutuk dan penuh laknat itu.
2.3 Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan pada Koran Media Indonesia
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa perbandingan. Adapun gaya bahasa perbandingan yang digunakan yaitu sebagai berikut:
1. Perumpamaan
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, digunakan gaya bahasa perumpamaan, yaitu: Amerika Serikat bagaikan polisi dunia. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa perumpamaan karena membandingkan dua hal yang berbeda, sehingga dianggap memiliki unsure-unsur persamaan diantara keduanya.
2. Pleonasme
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa pleonasme, yaitu: Tidak hanya itu. Seperti tidak mau kalah, pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur, pun membuat kejutan. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa pleonasme karena terdapat pemakaian kata kata mubazir atau berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (Poerwadarminta, 1976:761).
3. Antisipasi (Prolepsis)
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, terdapat penggunaan gaya bahasa antisipsi, yaitu: Hari ini H-3 menjelang ajang pesta olahraga bergengsi ke-26 bagi Negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau SEA games XXVI. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa antisipasi karena menyatakan penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Shadily, 1980:234).
2.4 Penggunaan Gaya Bahasa Pertentangan pada Koran Media Indonesia
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa pertentangan. Adapun gaya bahasa pertentangan yang digunakan yaitu sebagai berikut:
1. Ironi
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa Ironi, yaitu: Semakin rajin saja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah membebaskan terdakwa korupsi. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa ironi karena menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok.
2. Inuendo
Pada koran Media Indonesia, kolom berita utama halaman 1, digunakan gaya bahasa Inuendo, yaitu: Banyak lembaga dibuat, banyak satgas dibentuk, tetapi sekedar menjadi aksesoris. Contoh tersebut merupakan gaya bahasa innuendo karena menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau sambil alua saja (Keraf, 1985: 144; 2004:144).
3. Klimaks
Pada koran Media Indonesia, kolom opini halaman 14, terdapat penggunaan gaya bahasa klimaks, yaitu: kita semua tahu capaian prestasi olahraga hanya bisa diperoleh dengan usaha sungguh-sungguh, tahapan pembinaan yang benar, program latihan terencana, konsisten, dan berkesinambungan. Dan apalagi setelah enam kali partisipasi, sejak SEA Games ke-20 1999 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, hingga SEA Games ke-25 2009 di Vientiane, Laos, Indonesia tak pernah lagi jadi juara umum. Kedua contoh tersebut merupkan gaya bahasa klimaks karena menunjukkan suatu urutan peristiwa atau penyampaian gagasan secara kronologis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gaya bahasa perbandingan mencoba membandingkan dua hal yang sama atau dua hal yang berbeda. Menurut Henry Guntur Tarigan, Guru Besar Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, gaya bahasa perbandingan mencakup sepuluh jenis (1) perumpamaan, (2) metafora, (3) personifikasi, (4) depersonifikasi, (5) alegori, (6)antithesis, (7) pleonasme dan tautology, (8) periphrasis, (9) antisipasi (prolepsis), dan (10) koreksio (epanortosis) (Tarigan, 1985:15-34).
gaya bahasa pertentangan yaitu membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan, gaya bahsa pertentangan semuanya terdiri atas 20 jenis. Karena berbagai pertimbangan, antara lain masalah kegunaan serta tingkat popularitasnya di mata para pemakai bahasa, maka dari 20 jenis gaya bahasa itu, hanya 12 jenis yang dibahas, yaitu : (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme (Tarigan, 1985;55-82).
Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa perbandingan. Adapun gaya bahasa perbandingan yang digunakan yaitu perumpamaan, pleonasme, antisipasi. Penulisan berita utama dan opini pada Koran Media Indonesia, edisi: Selasa, 08 November 2011 menggunakan gaya bahasa pertentangan. Adapun gaya bahasa pertentangan yang digunakan yaitu ironi, innuendo, dan klimaks.
3.2 Saran
Setelah membahas mengenai Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan dan Pertentangan dalam koran Media Indonesia Edisi: 08 November 2011. Penulis menyarankan agar pihak jurnalistik Media Indonesia lebih kreatif dalam memilih dan memilah penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pertentangan dalam berita utama maupun berita opini, karena penggunaan gaya bahasa cenderung singkat dan hemat, tentu saja menghindari penggunaan kata-kata yang tidak perlu atau mubadzir.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Gunawan. 2008. Uraian Sederhana Tentang Gaya Bahasa atau Majas. Penerbit:Indonesis Tera Anggota IKAPI.
Djuharie, O. Setiawan. 2005. Panduan Membuat Karya Tulis. Bandung: Yrama Widya.
Danririsbastin.wordpress.com/2011/04/13/jenis-jenis-gaya-bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar